Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menemukan ada 72 kasus penyiksaan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat pada periode Juni 2018 hingga Mei 2019. Kasus ini mengakibatkan 16 orang tewas dan 114 orang luka-luka.
Dari sisi pelaku, aparat kepolisian merupakan yang paling dominan dengan 57 kasus, disusul tentara 7 kasus dan sipir 8 kasus. Sedangkan dari sisi wilayah, Sumatera Utara menjadi provinsi paling banyak terjadi penyiksaan dengan 15 kasus, disusul Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing dengan 6 kasus. Koordinator KontraS Yati Andriyani mengatakan temuan ini akan disampaikan ke sejumlah lembaga negara untuk perbaikan ke depan.
"Saya mau sampaikan saat ini sudah 21 tahun pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi internasional anti-penyiksaan. Kita bisa bayangkan sudah 21 tahun, tapi kalau kita bandingkan kepada situasi sekarang ternyata praktik-praktik penyiksaan masih terjadi," jelas Yati Andriyani di Jakarta, Rabu (26/6).
Kontras juga menemukan motif penyiksaan utama dalam kasus-kasus penyiksaan adalah untuk mendapatkan pengakuan dengan total 49 kasus dan 23 kasus lainnya sebagai bentuk penghukuman. Sementara dari sisi korban penyiksaan, sebagian besar merupakan korban salah tangkap dengan 51 peristiwa.
Dari sisi kebijakan, Yati juga menyoroti belum adanya delik pidana tentang penyiksaan. Menurutnya, soal penyiksaan memang masuk dalam pembahasan RKUHP, namun hanya sebatas penganiayaan dan pemberian keterangan dengan dipaksa. Di samping itu, penyiksaan berdasar rantai komando yang ada di aparat juga belum dapat diproses dengan aturan hukum yang ada.
BACA JUGA: 5 Lembaga Negara Masih Temukan Penyiksaan di Tahanan"Kami juga menyoroti terorisme dan penyiksaan. Karena kita tahu dalam UU Terorisme yang baru disahkan disitu ada potensi-potensi terjadinya penyiksaan dalam penegakan hukum untuk hal-hal yang terkait pidana terorisme. Misalkan karena durasi penangkapan penahanan yang lama dan sebagainya," tambahnya.
Kendati demikian, Yati juga mengapresiasi lima lembaga negara yang sudah menginisiasi Mekanisme Pencegahan Nasional (NPM) untuk menghentikan kasus-kasus penyiksaan di Indonesia. Kelima lembaga tersebut adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Yati juga menyebut Polri dan TNI juga sudah memiliki peraturan kapolri dan peraturan panglima TNI yang ramah dengan HAM. Namun, implementasi aturan tersebut masih belum maksimal.
Respons Pemerintah
Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjelaskan lembaganya telah menandatangani perjanjian kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dan Ditjen Imigrasi. Dengan kerjasama ini, 5 lembaga negara bisa berbagi informasi, pemantauan dan sidak di lapas-lapas guna mencegah penyiksaan.
"Ada satu perkembangan positif. Bahwa (tahun) 2016 sudah ada MoU 5 lembaga dengan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam MoU itu disepakati substansinya mendorong pencegahan penyiksaan. Mengikuti MoU itu kami menandatangani perjanjian kerjasama turunan dengan 2 Kedirjenan pada April 2019," jelas Sandrayati.
Sandrayati menambahkan kerjasama tersebut juga memungkinkan lembaganya untuk pemberian pendidikan bagi Kedirjenan untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Termasuk kata dia, kesepakatan untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan yang ada secara bersama-sama.
Sementara itu, Direktur Keamanan Lapas Rutan se-Indonesia, Lilik Sujandi mengatakan lembaganya terbuka dengan masukan dari berbagai pihak, tidak terkecuali Kontras. Menurutnya, masukan dari berbagai lembaga ini dapat menjadi perbaikan atau pencegahan tindak penyiksaan di lembaganya.
"Bahwa kami sudah membuka diri dengan teman-teman yang memiliki kapasitas untuk memastikan tindak kekerasan tidak terjadi lagi. Kami juga setuju ada mekanisme sidak. Ini kan juga suatu kebijakan luar biasa dari Dirjen PAS. Karena ini memang kerjaan keroyokan," kata Lilik Sujandi.
Lilik Sujandi menambahkan lembaganya juga melakukan pelatihan-pelatihan bagi kader mereka untuk mencegah tindak penyiksaan di bawah Ditjen PAS. (sm/em)