KONTRAS: Rekonsiliasi Tanpa Proses Hukum Bukan Solusi

  • Fathiyah Wardah

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta Kamis 31/3 (VOA/Fathiyah).

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) dan jaringan Solidaritas Keluarga Korban menegaskan bahwa rekonsiliasi tanpa proses hukum bukanlah solusi atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu Kamis siang (31/3) melakukan aksi di depan Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta. Mereka menolak penyelesaian rekonsiliasi pemerintah jika tidak ada proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KONTRAS, Feri Kusuma kepada VOA mengatakan, rekonsiliasi pemerintah itu tidak menjawab permasalahan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurut Feri, lembaganya bersama jaringan solidaritas keluarga korban ingin agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diproses secara hukum.

Pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung tambahnya harus menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998, kasus Wasior dan Wamena, kasus Talangsari, Lampung, kasus penembakan misterius dan kasus G30S/PKI 1965.

Your browser doesn’t support HTML5

KONTRAS: Rekonsiliasi Tanpa Proses Hukum Bukan Solusi

KONTRAS mendesak agar Presiden Joko Widodo memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut.

Rekonsiliasi yang dikonsepkan oleh pemerintah sekarang ini lanjut Feri adalah rekonsiliasi tanpa proses penyebutan pelaku, penyebutan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu itu sehingga menurutnya hal itu sama saja pemerintah telah melanggengkan impunitas.

"Apabila kasus pelanggaran HAM berat tidak diselesaikan, tidak diungkap siapa pelakunya potensi keberulangan peristiwa yang sama sangat besar. Nah disitulah esensi kenapa kita tetap konsisten meminta negara dalam hal ini pemerintah untuk menyelesaikan proses hukum," kata Feri.

Feri menambahkan, hingga saat ini para korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah diajak bicara dan tidak pernah didengar pendapatnya oleh pemerintah perihal kasus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini.

Korban pelanggaran HAM berat masa lalu kasus 1965, Bejo Untung misalnya mengaku sangat kecewa karena belum kunjung diselesaikannya kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus 65. Pria yang dipenjara tanpa proses hukum selama 9 tahun ini mengatakan keinginan pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non judicial sangat tidak tepat.

"Kalau rekonsiliasi hanya sifatnya maaf-maafaan tanpa proses rehabilitasi bagi korban sama saja dengan sia-sia dan omong kosong," cetus Bejo.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamananan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah sekarang ini masih merumuskan penyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi tahun 1997/1998.

"Masa forgive and forget gak bisa tentu kan nanti dicari formatnya. Kita mari menatap masa depan yang lebih baik," ajak Luhut.

Usai melakukan aksi di depan kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, KONTRAS bersama korban pelanggaran HAM berat masa lalu juga melakukan "Aksi Kamisan" di depan Istana Negara, Jakarta, menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM. "Aksi Kamisan" ini seperti ini sudah dilakukan sebanyak 437 kali. Meski demikian tuntutan tersebut belum didengarkan oleh pemerintah. [fw/em]