Kontroversi Kampanye Anti Asusila “Celup”

  • Fathiyah Wardah

Sebua akun di Instagram mengajak warga masyarakat mengunggah foto-foto yang dianggap asusila (foto: ilustrasi).

Sebuah kampanye di media sosial yang mendorong masyarakat menjadi “polisi moral” untuk memberikan sanksi sosial terhadap pasangan yang mengumbar kemesraan di ruang publik menjadi viral. Kampanye anti sosial yang diberi nama 'CELUP' (cekrek, lapor, upload) memicu kontroversi.

Akun @cekrek.lapor.upload di Instagram mengajak warga masyarakat mengunggah foto-foto yang dianggap asusila. Mereka yang mengirim foto akan diberikan hadiah berupa voucher pulsa hingga gantungan kunci Semakin sering mengunggah foto maka akan diberikan hadiah berupa kaos.

Kampanye ini mendapatkan reaksi beragam dari masyarakat. Seorang mahasiswi di Jakarta, Yulianti, menilai kampanye anti asusila seperti ini dapat mengembalikan ruang publik yang sehat dan mendorong orang tidak melakukan tindakan asusila di muka publik.

"Kita warga kalau lihat tindak asusila di muka umum juga kurang sreg aja, 'gak nyaman," kata Yulianti.

Sebaliknya warga lain Jakarta, Valen, menilai sebaiknya pencegahan dan penindakan tindakan asusila dilakukan aparat penegak umum dan bukan masyarakat, apalagi jika main hakim sendiri. Menurutnya, kampanye anti sosial atau CELUP seperti ini justru menimbulkan keresahan di masyarakat.

"Itu lebih baik dilakukan oleh pihak berwenang dan bukan oleh kita, orang umum, orang publik," tukas Valen.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rachmawati mengatakan sekarang ini secara global memang ada tren privatisasi hukum atau masyarakat melakukan upaya penegakan hukum secara mandiri. Di Australia, masyarakat yang tidak merasa nyaman dengan pedofil misalnya, juga menggerakan kelompok masyarakat lain menggunakan media sosial untuk menangkap para pedofil ini melalui ruang media sosial. Namun, menurutnya gerakan seperti ini tidak boleh dibiarkan karena akan memicu pelanggaran hukum.

"Kalau memang pertama argumentasinya adalah persoalan menggangu ruang publik, betul tetapi tidak kemudian para pelapor mengunggahnya di media sosial, gunakan dulu sebagai alat bukti ke pengadilan, kita punya aturan hukum. Kedua, jika yang meresahkan pelaku asusila remaja di bawah umur ada Undang-undang anak yang bahkan jika anak ada masalah harus didampingi orangtua. Jadi, ini jelas pelanggaran hukum kalau kemudian penegakan hukum atas dasar pelanggaran hukum," ujar Devie.

Devie menambahkan apabila kampanye itu dibiarkan maka hal ini bukannya mendorong perbaikan terhadap ketertiban masyarakat, tetapi sebaliknya masyarakat melakukan penegakan hukum berdasarkan kemauannya masing-masing. Menurutnya pemerintah sedianya memperkuat literasi hukum dan mengaktifkan komunikasi dengan para inisiator gerakan privatisasi hukum, guna memberikan pemahaman dan peringatan bahwa inisiatif menjaga ketertiban umum harus tetap berada di dalam koridor hukum. Apabila inisiator masih terus melakukan aksi maka kata Devie hukum yang berlaku harus ditegakan agar menjadi rujukan berperilaku bagi masyarakat luas.

Your browser doesn’t support HTML5

Kontroversi Kampanye Anti Asusila “Celup”

Wakil Ketua Bidang Administrasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu menyarankan agar kampanye anti asusila tersebut tidak dilakukan dengan mengumbar foto, tetapi dengan ajakan melalui tulisan sehingga tidak terancam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Akun @Celup (Cekrek Lapor Upload) mengunggah klarifikasi bahwa CELUP belum pernah sama sekali mengupload foto dan tindak asusila yang terjadi di lapangan. Jika diunggah pun maka hanya akan menunjukkan lokasi kejadian, agar pengelola tempat untuk menanggulangi tindak asusila. Akun tersebut juga mengklarifikasi bahwa kampanye ini tidak ada keterkaitannya dengan sejumlah media, karena hanya merupakan tugas mata kuliah tertentu yang sedianya hanya untuk konsumsi terbatas. [fw/em]