Sudah hampir satu dekade sejak ledakan bom mengguncang sebuah klub malam di Bali menewaskan lebih dari 200 orang. Beberapa tahun kemudian Indonesia membentuk pasukan kontra-terorisme Densus-88/ yang telah menangkap sekitar 600 tersangka teroris.
Para analis mengatakan hukuman atas Ustad Abu Bakar Baasyir menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghukum mereka yang terlibat aktivitas kekerasan. Baasyir dianggap sebagai pemimpin Jemaah Islamiah – kelompok terkait al-Qaida yang bertanggungjawab atas serangkaian serangan teror selama 10 tahun ini.
Sementara itu, dukungan publik atas serangan-serangan berskala besar yang ditujukan pada warga Barat – seperti yang terjadi di Bali – telah menguap. Perubahan ini mengejutkan kelompok-kelompok ekstrimis dan memicu terbentuknya kelompok-kelompok yang lebih kecil – faksi yang terpecah-belah yang memusatkan target pada polisi dan warga non-Muslim yang dipandang meremehkan Islam. Tetapi kebangkitan Jemaah Islamiah dan kelompok-kelompok lainnya telah meningkatkan keprihatinan baru tentang rekrutmen kaum muda.
Noor Huda Ismail – seorang analis terorisme dan mantan pelajar di Pondok Pesantren Ngruki yang didirikan oleh Baasyir – mengatakan ia telah melihat trend yang mengganggu itu.
Ia mengatakan, “Secara tradisional orang-orang yang mengikuti gerakan teroris berasal dari sekolah-sekolah khusus seperti sekolah saya di Ngruki atau Darul Syahadah atau Al Muttaqin. Kini anda melihat trend berbeda, mereka berasal dari sekolah-sekolah sekuler."
Noor Huda Ismail mengatakan perubahan target telah memudahkan kelompok-kelompok radikal untuk membujuk anak-anak muda bergabung. Banyak yang menggunakan ide pendirian negara Islam untuk menarik anak-anak muda konservatif atau yang merasa kehilangan hak-nya karena yakin negara telah menafikan mereka.
Noor Huda menambahkan bahwa kelompok-kelompok garis keras sedang menyesatkan gagasan tentang Islam untuk memanfaatkan anak-anak muda yang mudah dipengaruhi.
Sementara, Syafii Anwar – Direktur Pusat Islam dan Pluralisme Internasional mengatakan, masalah-masalah sosial, seperti pengangguran dan korupsi mempengaruhi cara pandang anak muda dalam memahami agama.
Setelah ketiga laki-laki yang melakukan peledakan bom di Bali tahun 2002 dan dikaitkan dengan Pesantren Ngruki milik Baasyir dieksekusi, sejumlah analis mengawasi dengan ketat pesantren-pesantren.
Wahyu Kusuma yang sempat mengikuti Pesantren Ngruki pada awal tahun 1990an ketika ia berusia 15 tahun mengatakan, "Pesantren saat ini sangat berbeda – kata Wahyu Kusuma – yang sepupunya kini mengikuti pesantren moderat yang modern termasuk mengajarkan bahasa Inggris dan komputer. Justru apa yang terjadi di luar kelas yang mengkhawatirkan para analis yang menyebut tim olahragawan dan kelompok belajar agama informal sebagai tempat utama rekrutment saat ini."
Analis-analis terorisme mengatakan organisasi besar seperti Jemaah Islamiah mengakui bahwa untuk membangun kembali basis mereka perlu mengikuti isu-isu lokal yang menyentuh masyarakat lokal. Meskipun mereka mungkin tidak memusatkan perhatian secara khusus pada kaum muda namun jelas bahwa pelajar-pelajar SMA adalah targetnya.
Tetapi para peneliti juga mengingatkan bahwa ancaman ini seharusnya tidak dibesar-besarkan. Banyak universitas yang kini memiliki program yang mempromosikan toleransi atau menghubungan mahasiswa dengan organisasi berbasis komunitas. Supriyadi – mahasiswa di Universitas Diponegoro Semarang bekerjasama dengan Noor Huda dalam program yang menyediakan pekerjaan bagi para mantan militan.
Ia mengatakan ia tidak khawatir tentang ancaman terorisme. Apa yang lebih penting adalah mengambil energi dan keyakinan yang mendorong orang pada ekstrimisme serta menemukan cara untuk memanfaatkannya menjadi sesuatu yang positif.