Dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, kamis (9/1), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar mengumumkan lembaga antirasuah tersebut telah menetapkan empat tersangka, termasuk Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Penetapan tersangka itu dilakukan setelah penyidik KPK memeriksa delapan yang ditangkap di tiga tempat, yakni Jakarta, Depok (Jawa Barat), dan Banyumas (Jawa Tengah).
Lili menjelaskan setelah melakukan pemeriksaan, KPK menyimpulkan adanya dugaan pidana korupsi berupa menerima hadiah terkait penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih untuk periode 2019-2024.
BACA JUGA: LBH Jakarta: Pencari Keadilan Meningkat Tajam pada 2019"Sejalan dengan penyelidikan tersebut, KPK menetapkan empat orang tersangka. Satu, sebagai penerima adalah WSE, Komisioner KPU. kemudian ada ATF (Agustiani Trio Fedelina), mantan anggota Badan pengawas Pemilu yang orang kepercayaan WSE. Kemudian sebagai pemberi adalah HAR (Harun Masiku) dan SAE (Saeful) yang pihak swasta," kata Lili.
Harun Masiku dan Saeful adalah mantan calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan 1.
KPK menyatakan Wahyu diduga menerima dana terkait dengan upaya membantu Harun Masiku sebagai pengganti anggota DPR dari PDIP yang meninggal, Nazarudin Kiemas. Wahyu sebelumnya meminta uang operasional Rp 900 juta. Lembaga antirasuah itu menyatakan Wahyu diduga menerima uang sedikitnya Rp 600 juta.
Pengungkapan kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan yang dilakukan penyelidik KPK terhadap Wahyu Setiawan dan ETO di Bandar Udara Soekarno Hatta pada Rabu (8/1). Penangkapan berlanjut atas ATF (Agustiani Trio Fedelina) di rumahnya di Depok. Dari kediaman ATF, tim KPK mengamankan uang setara Rp 400 juta dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan buku rekening terkait perkara tersebut.
Your browser doesn’t support HTML5
Tim KPK lainnya membekuk SAE, DON, dan I di jalan Sabang, Jakarta Pusat. Terakhir KPK menangkap IDA dan WBU di rumah mereka di Banyumas. Kedelapan orang tersebut kemudian dibawa ke kantor KPK di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, hingga akhirnya empat orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Mengenai konstruksi perkara, menurut Lili, pada awal Juli 2019, salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP memerintahkan DON untuk mengajukan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan penghitungan Suara. Pengajuan uji materi ini terkait dengan meninggalnya calon anggota DPR terpilih dari PDIP bernama Nazaruddin Kiemas pada Maret 2019.
Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut pada 19 Juli 2019. Mahkamah Agung menetapkan partai adalah penentu suara dan dalam pergantian antar waktu. Penetapan Mahkamah Agung ini menjadi dasar bagi PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan HAR sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas yang meninggal.
Namun pada 31 Agustus 2019, KPU menggelar rapat pleno dan memutuskan Rizki Aprilia sebagai pengganti dari almarhum Nazaruddin Kiemas. Pada 13 September 2019, PDIP mengajukan permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung.
SAE kemudian menghubungi ATF dan melakukan lobi untuk mengabulkan HAR sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas. ATF lalu mengirimkan dokumen dan fatwa Mahkamah Agung yang didapat dari SAE kepada Wahyu Setiawan untuk membantu proses penetapan HAR sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas.
Wahyu Setiawan menyanggupi permintaan itu ddan meminta dana operasional Rp 900 juta. Buat merealisasikan hal tersebut, ada dua kali pemberian dana, yakni pada pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana memberikan uang Rp 400 juta buat Wahyu Setiawan melalui ATF, DON, dan SAE.
Wahyu Setiawan kemudian menerima uang itu dari ATF sebesar Rp 200 juta di sebuah mal di Jakarta Selatan. Lantas pada akhir Desember 2019, HAR memberikan uang kepada SAE sebesar Rp 850 juta lewat salah satu staf di DPP PDIP.
BACA JUGA: Bupati Diduga Korupsi Proyek Jalan, Saat Indramayu Butuh InfrastrukturSAE kemudian memberikan uang Rp 150 juta kepada DON dan sisanya Rp 700 juta dibagi menjadi Rp 450 juta kepada ATF, Rp 250 juta buat operasional. Dari Rp 450 juta yang diterima ATF, sebanyak Rp 400 juta merupakan suap untuk Wahyu Setiawan dan uang masih disimpan oleh ATF.
Pada 7 Januari 2020, hasil rapat pleno KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan HAR sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas dan tetap pada keputusan awal.
Setelah gagal pada rapat pleno KPU, Wahyu Setiawan kemudian menghubungi DON dan menyampaikan telah menerima uang serta akan mengupayakan kembali agar HAR menjadi pengganrti Nazaruddin.
Dalam jumpa pers tersebut, Ketua KPU Arief Budiman mengaku sangat prihatin atas kasus dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Dia menyampaikan permohonan maaf kepada semua rakyat Indonesia atas kejadian ini.
"Saya tetap perintahkan kepada seluruh jajaran KPU yang ada di kantor pusat, di kantor provinsi dan jabupaten/kota agar mawas diri, tetap menjaga integritasnya, dan tentu harus bekerja dengan profesional karena tahun 2020 kita juga punya mementum besar untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah di 270 daerah," ujar Arief.
Arief menegaskan KPU siap bekerja sama dengan KPK untuk mempercepat dan memperjelas kasus ini agar berjalan dengan cepat. KPU akan membuka diri bila KPK membutuhkan data dan informasi dibutuhkan terkait kasus dugaan suap melibatkan Wahyu Setiawan.
BACA JUGA: Wali Kota Medan Terjaring OTT KPKDirektur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengaku kaget dan juga sangat menyesalkan terjadinya dugaan pidana suap sehingga terjadi OTT ini.
Dia berharap KPU bisa menjadikan momen tersebut untuk melakukan reformasi dan bersih-bersih total di tubuh KPU baik secara internal maupun pola hubungan eksternal.
Menurut Titi, KPU juga harus membangun pengawasan internal yang lebih baik dan efektif dalam mencegah tindakan menyimpang dan koruptif dari jajarannya. Apalagi banyak godaan menjelang pilkada serentak pada 2020. [fw/em]