Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai pemberian grasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Annas Maamun, tidak tepat. Pasalnya, Jokowi tidak memberikan alasan yang jelas mengapa Annas layak mendapat pengampunan.
"Kalau alasan kesehatan itu, memang ya namanya warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) banyak sekali yang memiliki masalah kesehatan," kata Zaenur saat dihubungi VOA, Rabu pagi (27/11).
Namun, imbuh Zaenur, hal itu bisa diatasi dengan menjalani perawatan di lapas atau di fasilitas kesehatan di luar lapas, seperti di rumah sakit.
"Kalau alasannya umur sudah lanjut, banyak sekali warga binaan di lapas itu berusia lanjut," tambah Zaenur.
Menurut Zaenur, pemberian grasi ini justru menunjukan seakan-akan tidak ada lagi komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintahan Jokowi di periode keduanya sebagai kepala negara.
Lanjut Zaenur, bila Annas yang terlibat perkara yang sangat serius dan berdampak luas dengan mudah mendapatkan ampunan, artinya korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan serius.
"Ini juga berbahaya. Anggapan seperti ini akan mempengaruhi pandangan para pejabat negara bahwa tidak usah khawatir melakukan korupsi nanti masih ada kesempatan mendapatkan remisi, grasi," ujar Zaenur.
Sementara itu, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengatakan pihaknya baru menerima surat dari Lapas Sukamiskin pada Selasa sore (26/11), terkait grasi Annas. Surat itu meminta KPK melakukan eksekusi dan melaksanakan Kepres No. 23/G Tahun 2019 tanggal 25 Oktober 2019 tentang pemberian grasi terhadap Annas Maamun.
"Kami cukup kaget ketika mendengar informasi pemberian grasi terhadap Annas Maamun yang justru terlibat dalam sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK. Bahkan kasus korupsi yang dilakukannya terkait dengan sektor kehutanan, yaitu suap untuk perubahan kawasan bukan hutan untuk kebutuhan perkebunan sawit saat itu," ujar Febri dalam keterangan tertulisnya kepada VOA.
Febri menjelaskan, penanganan perkara Annas Maamun telah melewati proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Annas ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014. Namun putusan berkekuatan hukum tetap di Mahkamah Agung baru pada 4 Februari 2016.
"Dengan tetap menghargai kewenangan presiden memberikan grasi terhadap terpidana kasus korupsi Annas Maamun dalam perkara ini, KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," jelas Febri
Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan, Ade Kusmanto, membenarkan pemberian grasi itu. Annas mendapat pengurangan masa hukuman penjara dari 7 tahun, menjadi 6 tahun. Namun pidana denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan tetap harus dibayar.
"Menurut data pada sistem data base pemasyarakatan, bebas awal 3 Oktober 2021. Setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama 1 tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020, dan denda telah dibayar 11 Juli 2016," kata Ade kepada VOA.
Seperti diketahui, Annas Maamun, Gubernur Riau periode 2014-2019 didakwa secara kumulatif menerima suap sebesar AS$166,100. Suap itu untuk memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di tiga kabupaten ke dalam perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau. Annas Maamun juga terbukti menerima suap dari beberapa rekanan terkait usulan perubahan luas kawasan bukan hutan di Provinsi Riau. [aa/ft]