Polemik mengenai pencalonan mantan narapidana kasus korupsi masih berlanjut setelah Mahkamah Agung pada Kamis pekan lalu (13/9) membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, yang melarang partai mengajukan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif.
Mahkamah Agung memutuskan Peraturan KPU tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebab yang dilarang oleh Undang-undang Pemilu hanya bakal calon anggota legislatif yang dipenjara karena melakukan tindak pidana lima tahun atau lebih. Sedangkan yang dipenjara kurang dari lima tahun boleh mencalonkan diri asal mengaku kepada publik bahwa mereka mantan narapidana.
Menanggapi keputusan Mahkamah Agung itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tantowi menjelaskan ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan oleh lembaganya untuk mencegah masyarakat memilih calon legislator yang merupakan mantan narapidana korupsi.
BACA JUGA: Soal Mantan Napi Koruptor Boleh Nyaleg, MA Tegaskan Komitmen pada Pemberantasan Korupsi"Di dalamnya tercantum seseorang itu mantan napi koruptor misalnya. Atau kemudian nanti, sebagaimana usulan beberapa teman, memberi tanda khusus di dalam surat suara yang akan dipilih oleh pemilih di TPS," kata Ubaid.
Namun, dia menekankan sejumlah alternatif itu akan dilakukan setelah KPU mengambil langkah-langkah persuasive kepada semua partai peserta pemilu untuk tidak mengajukan mantan narapidana koruptor sebagai calon legislator.
Mengomentari gagasan untuk menandai calon legislator yang merupakan mantan koruptor dalam surat suara, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan meminta KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memberlakukan aturan yang seragam supaya tidak ada perubahan lagi dalam aturan pencalonan anggota legislatif.
"Kita sudah tanda tangan pakta integritas dengan Bawaslu, tidak menerima caleg mantan koruptor. Nggak boleh di tempat. Jadi walaupun MA begitu (mengizinkan mantan koruptor menjadi calon legislator), kita tetap (menolak) karena kita sudah tanda tangan pakta intergritas," tukas Zulkifli.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan lembaganya menghormati putusan Mahkamah Agung tersebut . Dia menambahkan hingga saat ini sudah ada 146 anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dan lebih dari 70 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sudah diproses secara hukum dalam kasus korupsi .
Your browser doesn’t support HTML5
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai Mahkamah Agung gagal melihat maksud yang terkandung dalam dua Peraturan KPU tersebut Titi menegaskan ada tantangan besar yang akan dihadapi terkait calon legislator yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi, apalagi kalau sampai partai politik tetap ingin mencalonkan mereka.
"Memastikan KPU mengikuti Presiden Jokowi pada awal diskursus ini muncul, yaitu memberi tanda pada mantan napi korupsi, sehingga pemilih kita tidak sampai salah pilih karena mereka tidak tahu," cetus Titi.
Hingga laporan ini disampaikan belum mengambil keputusan mengenai kebijakan yang akan diambil terhadap para calon legislator yang merupakan mantan narapidana korupsi. [fw/em]