Krisis Air di Damaskus Bisa Picu Tindakan Militer

  • Lisa Schlein

Orang-orang mengantri untuk mengisi wadah-wadah yang dibawanya dengan air di kawasan al-Rabwah yang berada di bawah kendali pemerintah (10/1), sebuah daerah pinggiran di Damaskus, Suriah. (foto: REUTERS/Omar Sanadiki)

Seorang pejabat senior PBB mengatakan, krisis air yang sedang melanda Damaskus, ibukota Suriah, bisa memicu tindakan militer dengan konsekuensi gawat, kecuali pasokan penting dari daerah Wadi Barada di dekatnya yang dikuasai pemberontak, dipulihkan.

Damaskus memperoleh sebagian besar pasokan airnya dari lembah Wadi Barada. Kerusakan prasarana dalam pertempuran antara pemberontak dan pasukan Suriah, telah menghentikan sumber penting air bagi 5 juta penduduk di ibukota Suriah sejak 22 Desember.

Utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de Mistura, mengatakan izin bagi tenaga teknik pemerintah Suriah untuk pergi ke daerah itu untuk memperbaiki kerusakan sehingga air dapat dipompa ke Damaskus sangat mendesak. Dia mengatakan, pemberontak yang bertanggung jawab atas sumber air utama yang terletak di satu dari lima desa Wadi Barada, tidak setuju dengan usul itu.

"Oleh karena itu, ada bahaya besar, yang dapat berkembang menjadi eskalasi militer lebih lanjut, dan mau tidak mau, konsekuensinya tidak ada air bagi penduduk Damaskus," ujar Staffan de Mistura.

De Mistura memperingatkan, jika penduduk terus kekurangan air bersih, akan timbul wabah penyakit di Damaskus. Dia mengatakan kegagalan untuk memulihkan sumber air yang vital ini juga akan berdampak negatif pada upaya memulai kembali proses perdamaian di Suriah.

Dia mengatakan diskusi yang berlangsung di Rusia dan Turki untuk menyelesaikan masalah ini penting karena dua alasan.

“Yang pertama, air sangat penting di Damaskus ... karena menyangkut kehidupan 5 juta orang. Yang kedua, karena memang memiliki potensi, berdampak pada pembicaraan dan pertemuan di Astana, yang seperti kita ketahui, berdasar pada konsep yang mapan, dan berpotensi menghentikan permusuhan dengan cara yang lebih baik," papar de Mistura.

Rusia dan Turki dijadwalkan menengahi pembicaraan untuk merundingkan gencatan senjata dalam perang saudara Suriah yang panjang di ibukota Kazakhstan, Astana, tanggal 23 Januari. Iran dan PBB diundang untuk hadir.

PBB berharap melanjutkan negosiasi politik untuk mengakhiri perang saudara Suriah yang telah berlangsung hampir enam tahun pada Februari 8 nanti. De Mistura mengatakan, hasil pembicaraan yang sukses di Astana bisa menjadi batu loncatan untuk pertemuan politik yang sukses tentang Suriah. [ps/isa]