Krisis Oksigen RSUP Dr.Sardjito (2): Tragedi yang Semestinya Tak Terulang Lagi

Seorang pria menunggu di depan tanda 'pasokan oksigen habis' di sebuah lokasi isi ulang oksigen di Yogyakarta, 14 Juli 2021. (Foto: Agung Supriyanto/AFP)

Meninggalkan puluhan pasien di RSUP dr Sardjito sebagai dampak krisis oksigen, menyadarkan banyak pihak bahwa pandemi ini berpotensi melahirkan krisis lain. Pasien, baik COVID-19 maupun yang bukan, menjadi korban. Banyak hal bisa dipelajari agar kejadian serupa tidak terulang.

High Flow Nasal Canulla (HFNC) menjadi alat bantu pernafasan yang banyak dipakai dalam kasus COVID-19 kategori berat. Menurut dr. Prasenohadi, Spesialis Paru dan Pernapasan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan Jakarta, alat ini memang memiliki sejumlah keunggulan. HFNC mampu memberikan oksigen 90-100 persen bagi pasien. Alirannya dapat disesuaikan karena menggunakan mesin, dan praktis serta nyaman karena diberikan menggunakan nasal canulla.

Seorang pasien berbaring di ranjang dalam tenda darurat yang didirikan untuk menampung lonjakan pasien terinfeksi COVID-19, di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta, Rabu, 7 Juli 2021. (AP)

“Kenapa HFNC sekarang begitu populer. Satu karena kebutuhan oksigen pasien. Kedua, dengan menggunakan HFNC maka kebutuhan oksigen pasien itu bisa dicapai dan pasien masih bisa bernafas spontan. Yang ketika, dengan penggunaan HFNC yang tidak invasif ini, maka kemungkinan pasien untuk dirawat di ICU menjadi kecil,” papar Prasenohadi.

Karena tidak butuh perawatan ICU, biaya perawatan dapat dihemat. Pasien COVID-19 di berbagai rumah sakit, dapat ditempatkan di bangsal isolasi dengan tekanan ruang negatif. Alat ini juga lebih nyaman bagi pasien.

Dalam penanganan COVID-19, kata Prasenohadi, HFNC diberikan kepada pasien dengan kondisi berat atau kritis, yang tidak dirawat di ICU. Biasanya, saturasinya ada di bawah 90 persen, karena itu penggunaan nasal canulla biasa tidak cukup membantu.

Karena high flow atau butuh aliran tinggi, maka HFNC membutuhkan stok oksigen yang besar dan hanya bisa dicapai dengan sistem oksigen sentral.

dr. Prasenohadi, Spesialis Paru dan Pernapasan, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI Jakarta. (Foto: VOA)

“Kalau tabung akan cepat habis. Kalau mesin biasa, yang masker atau nasal canulla, paling-paling 10 sampai 15 liter per menit. Kalau kita mau pakai HFNC, maka kita harus ganti yang bisa 70 liter per menit. Oksigen yang dibutuhkan begitu tinggi dan kita menggunakan oksigen sentral,” tambah Prasenohadi.

Layanan dengan HFNC membutuhkan oksigen dalam jumlah besar. Padahal, lanjut Prasenohadi, jika seorang pasien sudah dirawat menggunakan alat ini, dia tidak bisa dilayani dengan alat yang memasok oksigen dalam jumlah lebih kecil.

“Harusnya enggak mungkin diganti dengan device yang lebih sederhana, yang di bawah itu. Tapi dalam kondisi tertentu, apa boleh buat mungkin. Keterbatasan oksigen menyebabkan itu dilepas diganti dengan yang lain, itu enggak bisa dihindari,” ujarnya lagi.

Terkait bunyi yang terdengar secara bersamaan ketika pasokan oksigen turun, Prasenohadi mengungkapkan semua tergantung ukuran yang ditetapkan dokter. Tetapi pengamatan harus dilakukan dan tindakan bantuan kepada pasien harus diberikan. Jika krisis oksigen sentral yang berdampak pada HFNC ini berlanjut, tanpa bantuan cukup pasien akan mampu bertahan sekitar satu jam. Pemberian oksigen melalui tabung, mungkin bisa membantu, tetapi suplai yang diberikan tidak akan sesuai seperti yang diharapkan. Penggantian ini bahkan bisa berdampak buruk bagi pasien.

Petugas kesehatan merawat pasien COVID-19 di tenda darurat RS Sardjito saat terjadi kelangkaan oksigen di Sleman, Yogyakarta, 4 Juli 2021. (Foto: Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah via REUTERS)

Prasenohadi mengaku, mayoritas rumah sakit tua di Indonesia belum memiliki jaringan yang mampu mendukung HFNC di banyak ruangan. Krisis yang terjadi dalam layanan rumah sakit, adalah persoalan teknis, bukan persoalan medis. Dia mengapresiasi pembentukan Satuan Tugas Oksigen di daerah untuk mengendalikan krisis, yang membutuhkan peran berbagai pihak dalam mengatasinya ini.

Krisis Tidak Tiba-Tiba

Krisis oksigen di RSUP dr Sardjito pada 3-4 Juli 2021, bukanlah peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Menurut catatan Komandan Posko Dukungan BPBD DIY, Wahyu Pristiawan Buntoro, sejak dua pekan sebelumnya, kelangkaan mulai bisa dirasakan.

“Krisis oksigen itu sudah dua pekan sebelumnya, dan yang paling terdampak adalah pasien yang ada di dalam. Sejak dua pekan sebelumnya, sebelum publik tahu, pasien yang ada di rumah sakit, tidak hanya di Sardjito, sudah merasakan. Krisis oksigen hari Sabtu itu bukan hari pertama. Sudah dua pekan sebelum kejadian itu,” ujar Pristiawan.

BACA JUGA: Krisis Oksigen RSUP Dr.Sardjito (1): Kisah-Kisah Pilu di Akhir Pekan

Bantuan untuk mengurai masalah ini sudah dilakukan sejak awal. Sebuah tim dari Yogyakarta bahkan langsung menuju ke salah satu pabrik oksigen di Kendal, Jawa Tengah. Pembicaraan juga dilakukan dengan operator suplai oksigen di gudang mereka di Yogyakarta. Operator tersebut telah memiliki aplikasi yang memungkinkan mereka memantau stok oksigen di setiap rumah sakit. Hanya saja, memang tidak ada cukup pasokan yang bisa didistribusikan di hari naas itu.

Ketika ditanya apakah ketiadaan oksigen menjadi faktor penentu terjadinya tragedi ini, Pristiawan menjawab diplomatis.

“Menurut kami itu faktor dominan. Kalau kondisi klinis saja, berarti ada sesuatu kasus klinis yang drastis. Kalau kami berpatokan, dalam rentang 24 jam terjadi kematian 63 orang. Padahal 63 orang ini kan pasien yang mayoritas sudah ditangani. Bukan pasien di IGD atau antri di IGD, jadi memang sudah tertangani dengan baik,” lanjutnya.

Keluarga pasien menunggu kesiapan jenazah untuk diambil di ruang forensik pada 4 Juli 2021. (Foto: TRC BPBD DIY)

Pristiawan mengatakan, Posko Dukungan BPBD DIY menerima permintaan bantuan dari RSUP dr Sardjito untuk membantu mengatasi keruwetan pengurusan jenazah, pada Minggu pagi. Tim kemudian membantu proses pemulasaran jenazah, termasuk menenangkan keluarga pasien yang emosional karena lamanya pengurusan jenazah. Pristiawan mengakui, dalam kondisi itu, mekanisme kerja yang telah mereka jalankan selama ini di Sardjito, tidak berjalan maksimal karena staf yang kelelahan.

“Banyak keluarga pasien sudah main keras. Kami membantu untuk bisa kembali menjalankan semua proses atau mekanisme terkait arus distribusi jenazah infeksius ini,” ujarnya lagi.

Warga berkumpul untuk mengisi tangki oksigen di sebuah stasiun di Yogyakarta pada 14 Juli 2021. (Foto: AFP/Agung Supriyanto)

Sampai pekan ini, menurut Pristiawan, belum ditemukan jalan keluar yang dapat mengatasi persoalan oksigen di Yogyakarta secara komprehensif. Solusi yang ada, cenderung parsial. Bantuan oksigen didatangkan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Masalah mendasarnya adalah kedua provinsi itu juga merasa perlu mengamankan stok oksigen mereka. Ada kajian yang dibuat kemudian, bahwa jika tidak ada jalan keluar permanen, tragedi serupa bisa saja terulang.

“Karena rumah sakit juga terjadi kepanikan, mereka belanja oksigen tinggi, sehingga produsen semakin kesulitan. Ini akan terjadi di saat tidak solusi yang permanen,” kata Pristiawan.

Berdalih Krisis Nasional

Direktur RSUP dr Sardjito, dr Eniarti M Sc, Sp KJ, MMR menilai, kondisi krisis dihadapi bukan hanya oleh rumah sakit yang dipimpinnya, tetapi merupakan masalah nasional. Selain itu, Sardjito juga dihadapkan pada kenyataan bahwa pasien yang datang ke sana, mayoritas berada dalam kondisi cukup berat.

“Pasien pasien yang datang ke tempat kita, itu kan adalah pasien-pasien kategori berat dan kritis. Di mana memang pemakaian oksigennya cukup banyak, dengan alat-alat ventilator dan HFNC, dan lain sebagainya, jadi rata-rata pasien itu akan dipasang alat-alat karena dalam kondisi yang kritis,” kata Eniarti dalam wawancara dengan media pada Jumat (16/7).

Direktur RSUP dr Sardjito, dr Eniarti M Sc, Sp KJ, MMR. (Foto: Humas Sardjito)

Untuk memastikan penyebab kematian pasien, apakah disebabkan kekurangan oksigen atau sebab yang lain, Eniarti menyebut ada tim audit yang dibentuk. Tim audit medis ini berasal dari komite medis. Eniarti memastikan, kondisi di mana rumah sakit benar-benar kehabisan oksigen sebenarnya tidak pernah terjadi.

“Jadi sebenarnya oksigen itu selalu tersedia, tetapi dengan jumlah yang sangat-sangat terbatas,” ujarnya.

Saat ini, bahkan rumah sakit masih harus berpikir untuk mencukupi kebutuhan oksigen mereka dari hari ke hari. Eniarti menyebut dukungan pemerintah dan industri sudah cukup baik, misalnya pengalihan oksigen industri yang saat ini 100 persen dipakai untuk medis.

“Ini akan menjadi hal yang kita cermati untuk perbaikan selanjutnya,” janjinya.

Dalam surat resmi, menanggapi permohonan wawancara dari tim kolaborasi jurnalis, Eniarti juga menggarisbawahi bahwa kapasitas tangki oksigen RSUP dr Sardjito adalah 10 ton. Jumlah itu sudah mencukup kebutuhan jika tidak terjadi gangguan pada distribusi.

“Kami menyadari di masa kebencanaan ini, dalam pelayanan yang kami berikan ke masyarakat selama ini, tentu saja tidak semuanya berjalan lancar seperti kondisi normal,” kata Erniati.

Dokumentasi ruang jenazah di RSUP dr Sardjito pada 4 Juli 2021, ketika krisis oksigen terjadi. (Foto: TRC BPBD DIY)

Berbagai perencanaan dan persiapan untuk layanan kepada pasien sudah dipersiapkan, lanjutnya, namun berbagai kendala baru selalu datang silih berganti.

Erniati sendiri adalah direktur utama baru di rumah sakit ini. Direktur lamanya, dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes.,Sp.OG(K) secara mendadak diganti pada 12 Juli 2021. Meski pemerintah menyebut ini adalah rotasi jabatan biasa, tetapi dugaan bahwa pemindahan tersebut terkait tragedi 3 Juli 2021 sulit dielakkan. Apalagi, Rukmono saat ini ditugaskan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr Soerojo, yang relatif jauh lebih kecil dibanding RSUP dr Sardjito.

Seperti diberitakan sebelumnya, krisis oksigen telah berdampak langsung maupun tidak pada kematian puluhan pasien di RSUP dr Sardjito pada 3 dan 4 Juli 2021. Pada periode 24 jam, tanggal 3 Juli pagi hingga 4 Juli pagi, ada 63 kematian. Menurut keterangan resmi, 33 pasien meninggal setelah pukul 20.00 tanggal 4, yang merupakan saat di mana sistem oksigen sentral mati.

Mobil tangki oksigen PT Samator mengisi pasokan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Minggu (4/7). (Foto: VOA/Nurhadi)

Melalui keterangan resmi pada 5 Juli 2021, manajemen RSUP dr Sardjito menyatakan bahwa upaya-upaya antisipasi sudah dilakukan sejak 29 Juni, dengan koordinasi bersama PT. Samator dan PT. Surya Gas. Pada Sabtu, 3 Juni 2021 siang, ketika oksigen mulai menipis, dilakukan koordinasi dan persiapan, termasuk pertemuan lanjutan untuk memastikan kecukupan persediaan.

Situasi tersebut ditambah masuknya pasien secara bersamaan pada Jumat, 2 Juli 2021, membuat kebutuhan oksigen makin meningkat. RSUP Dr Sardjito melakukan pengaturan ulang semua penggunaan oksigen yang dipakai pasien, serta mengirimkan surat permohonan dukungan kepada Menkes RI, Dirjen Pelayanan Kesehatan, Gubernur, BPBD, Dinas Kesehatan, Persi dan Dewan Pengawas.

Hingga pukul 15.00 WIB hari Sabtu, rumah sakit masih mengalami kendala dan pasokan oksigen mengalami penurunan satu jam kemudian dan diperkirakan habis pukul 18.00 WIB, meski di lapangan oksigen sentral baru habis sekitar pukul 20.00 WIB.

Pasien menunggu perawatan di dalam ambulans di tengah lonjakan kasus COVID-19 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito Yogyakarta, Rabu, 7 Juli 2021.

Dalam kondisi tersebut, perawatan pasien beralih menggunakan oksigen-oksigen tabung atau oksigen cadangan pinjaman dari RS Akademik UGM dan RSGM /FKG UGM serta Polda DIY. Pukul 00.15 WIB hari Minggu, bantuan Polda DIY datang sebanyak 100 tabung. Selanjutnya pukul 03.40 WIB truk oksigen liquid pertama masuk dan mengisi tabung utama, sehingga oksigen sentral berfungsi kembali. Disusul truk kedua pukul 04.45 WIB dan pelayanan kembali menggunakan oksigen sentral.

Pemerintah pusat mengambil sejumlah kebijakan mengatasi krisis ini. Seluruh pasokan kini dialihkan untuk kepentingan medis. Pengiriman dari luar Jawa juga dilakukan untuk wilayah Jawa, sebagai pusat krisis. Impor juga dilakukan dalam waktu cepat, termasuk generator oksigen. Semua berharap, tragedi seperti yang terjadi di Sardjito awal Juli lalu, tidak terulang kembali. [ns/ab]

Tulisan ini merupakan kolaborasi jurnalis tujuh media terkait pandemi, yaitu : Kompas, Gatra, IDN Times, Tirto.id, Harian Jogja, CNN INdonesia TV, dan VOA Indonesia