Majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan permohonan PK Kedua Djoko Tjandra secara formil tidak dapat diterima. Putusan tersebut diambil dalam sidang terbuka pada Rabu (5/1/2022). Sidang dipimpin Andi Samsan Nganro, dengan hakim anggota Suhadi, Eddy Army, Sri Murwahyuni dan Surya Jaya.
Pertimbangannya permohonan PK kedua dapat dilakukan apabila terdapat dua putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap berbeda. Hal tersebut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.10/2009 Tentang Pengajuan Permohonan PK dan SEMA tentang Pemberlakuan Hasil Rumusan Kamar MA."Terhadap putusan tersebut, salah seorang Hakim Anggota mengajukan dissenting opinion (DO), yakni Eddy Army, yang berpendapat bahwa alasan PK terpidana cukup beralasan menurut hukum untuk dikabulkan sebagaimana putusan Pengadilan Tingkat Pertama," tulis rilis Mahkamah Agung, Rabu (5/01/2022).
Dalam permohonannya, pihak Djoko Tjandra menyebut PK yang diajukan memenuhi persyaratan. Salah satunya terdapat pertentangan antara dua putusan PK. Keduanya adalah putusan PK No. 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012 (amarnya menolak PK Pemohon) dan putusan PK No. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 8 Juni 2009 (amarnya mengabulkan PK Jaksa).
Namun, majelis hakim PK menilai kedua putusan tersebut tidak bertentangan satu sama lain. Sebaliknya, kata majelis hakim putusan PK pada 2012 mendukung putusan 2009 dengan menyatakan menolak permohonan PK dan menyatakan putusan sebelumnya berlaku."Dengan demikian, alasan PK II dari Pemohon PK/Terpidana tidak memenuhi alasan adanya "pertentangan" yang menjadi syarat (formil) untuk mengajukan PK lebih dari satu kali ( PK II)," tambah rilis MA.
Anggota kuasa hukum Djoko Tjandra, Purwaning M Yanuar mengatakan belum menerima putusan MA tersebut. Ia juga belum bertemu dengan Djoko Tjandra sehingga belum mengetahui langkah lanjutan yang akan diambil.
Namun, Purwaning mempertanyakan dasar penolakan MA yang menyebut dua putusan kasus ini tidak bertentangan. Sebab, kata dia, putusan PK No. 100 PK/Pid.Sus/2009 mengabulkan permohonan PK yang diajukan Jaksa Penuntut Umum PN Jaksel. Ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.33/PUU-XIV/2016 pada 12 Mei 2016 yang menegaskan PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. "Saya belum ketemu (Djoko Tjandra) dan membahas apapun. Saya juga belum membaca putusannya, tapi hanya dari rilis dan media," jelas Purwaning kepada VOA, Kamis (6/1/2022) malam.BACA JUGA: Djoko Tjandra DitangkapPurwaning menambahkan Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali dan sudah ada preseden dalam kasus lainnya.
Pakar Hukum Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto, Hibnu Nugroho menilai wajar pendapat kuasa hukum Djoko Tjandra yang menilai ada pertentangan dalam dua putusan. Namun, kata dia, keputusan kasus tetap berada di tangan majelis hakim. Selain itu, permohonan PK dengan dasar pertentangan putusan kerap menimbulkan tafsir berbeda. Karena itu, Hibnu menyarankan permohonan PK lebih baik menggunakan bukti baru yang memiliki kemungkinan diterima lebih besar. "Pendapat hakim itu, harus berpikir obyektif perkara dan obyektif hukumnya, sedangkan penasehat hukum obyektif perkara dan subyektif terhadap hukumnya. Karena itu sah-sah saja pendapat penasehat hukum," jelas Hibnu kepada VOA, Jumat (7/1/2022).BACA JUGA: Polri Tingkatkan Kasus 'Red Notice' Djoko Tjandra ke PenyidikanHibnu berpendapat hukum harus memberikan kepastian kepada masyarakat. Karena itu, ia kurang sependapat dengan putusan MK yang membolehkan PK lebih dari satu atau berkali-kali.
Dengan demikian, kata dia, jalan tengahnya, yaitu memberi kesempatan kepada terpidana untuk mengajukan PK sebanyak dua kali dan setelah itu eksekusi putusan.
Mahkamah Agung pada Juni 2009 telah menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp15 juta kepada Djoko Tjandra, terdakwa dalam kasus pengalihan tagihan piutang (cessie) Bank Bali. Di samping itu, Mahkamah Agung memerintahkan agar uang milik Djoko Tjandra sebesar Rp546 miliar di Bank Bali dirampas untuk negara.BACA JUGA: Kapolri Copot Jabatan Kabiro di Bareskrim Terkait Djoko TjandraSehari sebelum putusan Mahkamah Agung keluar, Djoko Tjandra kabur dari Indonesia. Dengan pesawat carteran, ia terbang menuju Ibu Kota Port Moresby, Papua Nugini. Pada 2012, dikabarkan Djoko Tjandra telah menjadi warga negara Papua Nugini.
Baru pada 2020, Djoko Tjandra ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, dan diterbangkan ke Jakarta, Kamis malam (30/7/2020). [sm/ab]