Organisasi perempuan, seperti Aisyiyah, memiliki tantangan untuk terus memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik. Setelah Undang-Undang Pemilu yang mensyaratkan partai memiliki 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif, ada tantangan baru untuk memastikan jatah di parlemen terisi. Sejumlah negara menerapkan sistem reserved seats bagi perempuan atau kelompok tertentu di parlemen untuk menjamin komposisi yang adil.
Anggota DPR Andi Yuliani Paris menyinggung hal itu ketika berbicara dalam diskusi politik yang diselenggarakan Pimpinan Pusat Aisyiyah, Yogyakarta, Sabtu (20/8).
“Memang kita masih perlu perjuangkan 30 persen perempuan di parlemen, itu reserved seats, kursi tersedia. Kita bisa lihat beberapa negara yang punya sistem dengan reserved seats. Kan, kalau sekarang kita baru caleg perempuan 30 persen ya, itupun juga (membutuhkan) progres yang panjang perjuangannya,” kata Andi Yuliani.
Reserved seats adalah skema di mana parlemen mengalokasikan jumlah kursi tertentu, untuk kelompok yang dituju. Sistem yang diterapkan menjamin alokasi itu akan terpenuhi.
Andi Yuliani mengaku pernah menerapkan strategi serupa, ketika DPR melakukan pemilihan komisiode KPU dan Bawaslu. Dalam setiap surat suara yang diserahkan, anggota DPR yang memilih diwajibkan menuliskan sekurangnya dua calon perempuan. Jika tidak menyebut dua nama perempuan, surat suara dimaksud dinyatakan tidak berlaku.
Politisi Melahirkan Regulasi
Memiliki lebih banyak perempuan di parlemen, tegas Andi Yuliani, adalah langkah penting karena politik melahirkan regulasi. Ketika menjawab pertanyaan sejumlah peserta diskusi terkait iklim pendidikan di Indonesia, Andi Yuliani menggunakan sudut pandang tersebut.
“Kalau perempuan menjadi anggota DPRD, DPR RI dia bisa membuat satu rancangan undang-undang yang membuat sistem pendidikan itu lebih humanis,” ujarnya.
BACA JUGA: Jejak Panjang Perempuan Indonesia Menuntut Kiprah SetaraPolitisi perempuan dibutuhkan karena Indonesia masih memiliki persoalan besar bagi perempuan sendiri. Andi Yuliani menyuguhkan data 1,8 juta perempuan di bawah usia 18 tahun putus sekolah dan menikah pada 2018 menurut data Kemen PPPA. Ada 4,3 juta perempuan putus sekolah di berbagai jenjang selama 2019 menurut Bappenas. Sementara BPS menyebut, 47,9 persen perempuan usia 20-24 putus pendidikan selama 2020 karena alasan ekonomi.
Angka-angka itu menyebabkan literasi perempuan semakin rendah dalam bidang politik. Pada gilirannya, politisi perempuan makin sedikit yang terpilih, dan regulasi yang mendukung perbaikan kondisi perempuan tetat minim.
Organisasi perempuan seperti, Aisyiyah, harus mendorong literasi politik perempuan untuk turut mengubah keadaan.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama. Bagaimana angka-angka ini memberikan informasi kepada kita. Bagaimana kita mengemas kampanye kita,” ujar Andi Yuliani.
Nomor Urut Isu Strategis
Partai peserta pemilu memang memiliki kewajiban menempatkan sekurangnya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif. Penetapan itu diharapkan mendongkrak keterpilihan, karena semakin banyak calon perempuan diharapkan semakin besar potensi politisi perempuan di parlemen.
Namun sayangnya, angka 30 persen itu tidak pernah bisa dicapai sampai saat ini. Salah satu penyebabnya, partai sekadar memenuhi kuota 30 persen calon legislatif perempuan, tetapi tidak benar-benar memperjuangkan keterpilihan mereka. Perempuan, mayoritas berada di nomor bawah, yang otomatis mengurangi kemungkinan terpilih.
Setidaknya itu tergambar dari hasil penelitian Perludem, seperti dipaparkan Titi Anggraini dalam diskusi ini.
“Soal keterpilihan perempuan, kalau dilihat dari data memang nomor urut 1 tidak bisa jadi jaminan akan terpilih. Tetapi 64 persen Caleg terpilih pada pemilu 2019 itu adalah Caleg pada nomor urut 1, dan yang terpilih kedua terbanyak adalah caleg pada nomor urut 2,” ujar Titi.
Dari riset Perludem juga diketahui, calon legislatif perempuan paling banyak ditempatkan di nomor urut 3, 6 dan 5. Keputusan partai semacam ini, secara tidak langsung menurunkan potensi keterpilihan perempuan.
“Perilaku pemilih kita, ketika mereka tidak kenal dengan Calegnya, mereka kebingungan. Maka mereka menganggap Caleg dengan nomor urut kecil, karena berada di atas, itu adalah sebagai prioritas,” tambah Titi.
“Ini menjadi tantangan ya. Ketika dihadapkan pada pengetahuan pemilih yang kurang terhadap Caleg, maka pendekatannya adalah pendekatan sederhana. Bahwa yang nomor urut kecil, yang ada pada paling atas itu, adalah prioritas yang diusulkan oleh partai,” ujarnya lagi.
Hasil Pemilu 2019 pun menggambarkan kondisi serupa. Dari 575 anggota DPR, sebanyak 308 merupakan laki-laki dan 57 perempuan, yang berada di nomor urut 1, jumlah terbanyak kedua adalah Caleh nomor urut 2, dan sisanya ada di nomor urut setelah itu. Data serupa konsisten pada Pemilu 2009 dan 2014.
BACA JUGA: Mengapa Perempuan Tak Kunjung Capai Kuota 30% di DPR?Minim di Penyelenggara Pemilu
Bukan hanya di kelompok peserta Pemilu, keterwakilan perempuan juga minim di kalangan penyelenggara Pemilu. Di Jawa Timur, misalnya, ada tujuh komisioner KPU provinsi, hanya dua yang perempuan. Jumlah itu sudah lebih baik, karena pada periode sebelumnya bahkan hanya ada satu.
Komisioner KPU Jawa Timur, Nurul Amalia, mengatakan,jumlah komisioner perempuan di KPU kabupaten atau kota bervariasi. Namun, ada juga KPU kabupaten yang sama sekali tidak memiliki komisioner perempuan.
“Ada di beberapa kabupaten. Ada di Ponorogo, Probolinggo kemudian juga di Kabupaten Madiun, ini nihil perempuan. Kemudian di Kabupaten Pamekasan, juga nihil perempuan,” ujar Nurul terkiat komisioner KPU kabupaten/kota.
BACA JUGA: Pemilu: Pemilih Perempuan Tak Otomatis Dukung Calon PerempuanJawa Timur sendiri memiliki 29 kabupaten dan sembilan kota.
Jika dirunut lebih ke bawah, di tingkat kecamatan jumlah perempuan yang ikut berperan dalam penyelenggaraan Pemilu hanya mencapai sekitar 10 persen. Sementara di tingkat desa, jumlahnya lebih banyak, yaitu sekitar 29 persen.
Your browser doesn’t support HTML5
Padahal, perempuan selalu dominan sebagai pemilih dalam Pemilu. Pada pemilihan gubernur misalnya, jumlah pemilih perempuan pada 2013 maupun 2018 relatif sama, yaitu sekitar 54 persen, jauh di atas pemilih laki-laki yang 46 persen.
“Kita lihat secara jumlah, perempuan itu imbang dengan laki-laki. Tetapi secara peran di masyarakat, di penyelenggara Pemilu, jumlah perempuan sangat tidak imbang dengan jumlah laki-laki,” ujar Nurul. [ns/ah]