Larangan Aborsi di AS Persulit UGD Layani Ibu Hamil dalam Kondisi Darurat

  • Associated Press

Seorang dokter sedang memeriksa perempuan hamil di sebuah rumah sakit di Chicago, 7 Agustus 2018. Keluhan terkait penolakan unit UGD rumah sakit untuk merawat perempuan hamil dalam kondisi darurat melonjak sejak MA AS membatalkan hak aborsi Roe vs Wade. (Foto: AP Photo)

Unit Gawat Darurat (UGD) di sejumlah rumah sakit di beberapa negara bagian di Amerika Serikat menolak merawat perempuan hamil yang mengalami kondisi darurat, seperti pendarahan, karena khawatir dianggap melanggar legislasi setempat tentang larangan aborsi. Padahal legislasi federal membolehkan.

Dalam kondisi mengalami pendarahan dan kesakitan, Kyleigh Thurman tidak tahu bahwa kehamilan yang buruk bisa membunuhnya.

Dokter ruang gawat darurat di Ascension Seton Williamson di Texas memberinya pamflet tentang keguguran dan memintanya untuk “membiarkan alam menentukan jalannya." Kemudian, Thurman dipulangkan dari rumah sakit tanpa pengobatan apapun untuk kehamilan ektopik atau kehamilan di luar rahim yang dialaminya.

Ketika perempuan berusia 25 tahun itu kembali ke rumah sakit yang sama tiga hari kemudian karena masih mengalami pendarahan, dokter akhirnya setuju untuk memberinya suntikan guna mengakhiri kehamilannya. Namun, langkah itu terlambat. Sel telur yang telah dibuahi dan tumbuh di tuba falopi Thurman merusak organ reproduksi dan menghancurkannya.

Peristiwa itu merupakan bagian dari pengaduan yang diajukan Thurman dan Pusat Hak Reproduksi minggu lalu, yang meminta pemerintah untuk menyelidiki apakah rumah sakit tersebut melanggar undang-undang federal ketika petugas medis di sana semulai menolak merawatnya pada Februari 2023.

“Saya dibiarkan saja. Ini sama saja dengan menyesatkan saya," kata Thurman.

Meskipun pemerintahan Biden secara terbuka memperingatkan rumah sakit untuk tetap merawat pasien hamil yang mengalami kondisi darurat, sebagian fasilitas kesehatan tetap melanggar hukum federal tersebut.

Temuan Mencengangkan Associated Press

Kajian kantor berita the Associated Press atas investigasi yang dilakukan terhadap beberapa rumah sakit federal menunjukkan ada lebih dari 100 perempuan hamil yang mengalami kondisi darurat medis dan mencari bantuan di ruang gawat darurat ditolak atau dirawat secara ala kadarnya sejak 2021.

BACA JUGA: Hakim North Dakota Batalkan Larangan Aborsi 

Dua perempuan – satu di Florida dan satu di Texas – mengalami keguguran di toilet umum. Di Arkansas, seorang perempuan mengalami syok sepsis dan janinnya meninggal setelah unit gawat darurat memulangkannya. Setidaknya empat perempuan lain yang mengalami kehamilan ektopik atau kehamilan di luar rahim mengalami kesulitan mendapatkan perawatan apa pun, termasuk seorang perempuan California yang memerlukan transfusi darah setelah dia duduk selama sembilan jam di ruang tunggu UGD.

Gedung Putih mengatakan rumah sakit harus menawarkan aborsi – bila diperlukan – untuk menyelamatkan sang ibu, meskipun ada larangan dari negara bagian tertentu. Texas menentang pedoman tersebut dan awal musim panas ini Mahkamah Agung menolak untuk memutuskan hal itu.

Larangan Aborsi Persulit Perawatan Kehamilan Berisiko

Di negara bagian Texas, di mana aturan hukum mengatur bahwa para dokter dapat dijatuhi hukuman hingga 99 tahun penjara jika terbukti melakukan aborsi ilegal, para pakar medis dan hukum mengatakan undang-undang tersebut mempersulit pengambilan keputusan saat dokter menghadapi pasien dalam kondisi kehamilan darurat.

Pusat Hak Reproduksi mengatakan meskipun undang-undang negara bagian itu mengatakan penghentian kehamilan ektopik tidak dianggap sebagai aborsi, sanksi hukuman yang kejam membuat para dokter di Texas takut untuk merawat pasien.

Seorang penjaga keamanan keluar dari klinik Whole Women's Health Clinic di Forth Worth, Texas, 1 September 2021. Texas melarang aborsi pada saat detak jantung janin terdeteksi atau sekitar usia enam minggu. (Foto: LM Otero/AP Photo)

Salah seorang pengacara di Pusat Hak Reproduksi, Marc Hearron, mengatakan “meskipun rumah sakit dan dokter takut melanggar larangan aborsi di negara bagian ini, mereka juga perlu khawatir akan melanggar hukum federal.”

Rumah sakit juga berpotensi menghadapi penyelidikan federal, dikenai sanksi hukuman berat, dan ancaman terhadap pendanaan Medicare mereka jika terbutki melanggar aturan hukum federal.

Pusat Hak Reproduksi minggu lalu mengajukan dua keberatan hukum ke Pusat Medicare dan Layanan Medicaid yang menuduh bahwa ruang gawat darurat Texas yang berbeda telah gagal merawat dua pasien, termasuk Thurman, yang mengalami kehamilan ektopik.

Keberatan hukum lain diajukan oleh Kelsie Norris-De La Cruz, usia 25 tahun, yang kehilangan saluran tuba dan sebagian besar ovarium setelah rumah sakit di Arlington, Texas, memulangkannya tanpa mengobati kehamilan ektopiknya. Dokter bahkan menyadari bahwa langkah itu “bukan untuk kepentingan terbaiknya.”

“Para dokter tahu saya memerlukan aborsi, tetapi larangan ini membuat hampir mustahil untuk mendapatkan layanan kesehatan darurat dasar,” katanya dalam sebuah pernyataan.

“Saya mengajukan keluhan ini karena perempuan seperti saya berhak mendapatkan keadilan dan akuntabilitas dari mereka yang menyakiti kami," imbuhnya.

BACA JUGA: Vance Janji Tidak Berlakukan Larangan Aborsi Federal, Kampanye Harris Pecahkan Rekor Donasi

Mendiagnosis kehamilan ektopik secara meyakinkan bisa jadi sulit. Dokter tidak selalu dapat mengetahui lokasi kehamilan ektopik melalui ultra sonografi (USG), menurut penjelasan dari tiga dokter yang diwawancarai Associated Press secara terpisah untuk laporan ini. Kadar hormon, perdarahan, tes kehamilan positif, dan USG rahim kosong semuanya mengindikasikan kehamilan ektopik.

“Anda tidak bisa 100 persen – itu bagian yang sulit,” kata Kate Arnold, dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn) di Washington.

“Itu benar-benar bom waktu. Ini adalah kehamilan yang tumbuh dalam benda yang hanya bisa tumbuh begitu besar," imbuhnya.

UU Negara Bagian Menyurutkan Langkah Dokter

Direktur Hak untuk Hidup Texas Dr. John Seago mengatakan undang-undang negara bagian jelas melindungi dokter dari tuntutan jika mereka menghentikan kehamilan ektopik, bahkan jika dokter “membuat kesalahan” dalam mendiagnosisnya.

“Mengirim seorang perempuan pulang ke rumah sama sekali tidak perlu, sangat berbahaya,” kata Seago.

Namun undang-undang negara bagian “tentu saja” membuat dokter takut merawat pasien hamil, kata Hannah Gordon, dokter pengobatan darurat yang bekerja di rumah sakit Dallas hingga tahun lalu.

“Ini akan memaksa dokter untuk mulai membuat skenario yang meragukan bagi pasien, meskipun itu sangat berbahaya,” tambahnya.

Dia meninggalkan Texas dengan harapan bisa hamil, dan khawatir dengan perawatan yang akan dia dapatkan di sana. Gordon mengenang seorang pasien hamil di ruang UGD Dallas yang memiliki tanda-tanda kehamilan ektopik. Namun, karena dokter spesialis Obgyn mengatakan tidak dapat mendiagnosis masalahnya secara pasti, mereka menunggu untuk mengakhiri kehamilan tersebut sampai pasien kembali keesokan harinya.

Para pedemo anti-aborsi membawa poster-poster penolakan praktik aborsi di luar klinik Bread and Roses Woman's Health Center yang menyediakan layanan aborsi di Clearwater, Florida, 11 Februari 2023. (Foto: Octavio Jones/Reuters)

Dalam kasus Thurman, ketika dia kembali ke Ascension Seton Williamson untuk ketiga kalinya, dokter kandungannya memberi tahu bahwa dia harus dioperasi untuk mengangkat saluran tuba (fallopian tubes) yang telah pecah. Thurman, yang masih mengalami pendarahan hebat, menolak keras. Kehilangan saluran tuba akan membahayakan kesuburannya. Namun dokternya mengatakan bahwa dia berisiko mengalami kematian jika menunggu lebih lama lagi.

“Dia datang dan dia berpikir, Anda harus menjalani transfusi darah, atau Anda harus menjalani operasi atau Anda akan kehabisan darah,” kata Thurman sambil menangis. “Saat itulah saya merasa, 'Ya Tuhan, saya sekarat.'

Ascension Seton Williamson menolak mengomentari kasus Thurman, tetapi mengatakan rumah sakit “berkomitmen untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi kepada semua yang mencari layanan kami.”

Di Florida, seorang perempuan dengan kehamilan berusia 15 minggu mengalami kebocoran cairan ketuban selama satu jam di ruang tunggu UGD Broward Health Coral Springs. Dokumen federal menunjukkan hasil USG pasien memperlihatkan ia tidak memiliki cairan ketuban di sekitar janin, situasi berbahaya yang dapat menyebabkan infeksi serius. Perempuan itu mengalami keguguran di kamar mandi umum pada hari itu, setelah dokter ruang UGD menyatakan kondisinya “membaik” dan memulangkannya tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter kandungan rumah sakit tersebut.

BACA JUGA: Hasil Studi: Jumlah Aborsi di AS Naik sejak Roe v Wade Dibatalkan

Petugas medis darurat segera membawanya ke rumah sakit lain, di mana dia dipasangi ventilator dan dipulangkan setelah enam hari.

Pada saat itu, negara bagian Florida melarang aborsi setelah usia kehamilan memasuki 15 minggu. Direktur medis kebidanan di Broward Health Coral Springs mengatakan kepada tim penyelidik bahwa menginduksi persalinan siapa pun yang mengalami ketuban pecah dini merupakan "standar perawatan, yang sudah lama ada, terlepas dari detak jantungnya, karena menimbulkan risiko bagi sang ibu.”

Rumah sakit menolak berkomentar atau berbagi kebijakannya dengan the Associated Press.

Dalam kasus lain di Florida, seorang dokter mengakui bahwa undang-undang negara bagian itu telah mempersulit perawatan darurat kehamilan.

“Karena undang-undang baru… staf tidak dapat melakukan intervensi kecuali ada bahaya terhadap kesehatan pasien,” kata seorang dokter di Rumah Sakit Regional Memorial di Hollywood, Florida kepada tim penyelidik yang menyelidiki kegagalan rumah sakit dalam memberikan aborsi kepada perempuan hamil yang air ketubannya pecah pada saat kehamilannya memasuki usia minggu ke-15, jauh sebelum janin dapat bertahan hidup.

Terjadi di Negara Bagian yang Tak Larang Aborsi

Peta negara bagian yang memberlakukan pelarangan aborsi di seluruh AS. (Grafis: AP Graphic)

Kajian Associated Press menggarisbawahi terjadinya pelanggaran hukum federal serius yang membahayakan kesehatan ibu atau janinnya terjadi di negara-negara bagian dengan dan tanpa larangan aborsi.

Dalam wawancara dengan penyelidik, dua rumah sakit yang kekurangan staf – di Idaho dan Washington – mengaku secara rutin mengarahkan pasien hamil untuk pergi ke rumah sakit lain.

Seorang pasien hamil di ruang UGD di Bakersfield, California segera mendapatkan prioritas perawatan, tetapi petugas medis gagal menyadari betapa mendesaknya kondisi pasien saat itu, yaitu rahim yang pecah. Penyidik menyimpulkan penangguhan penanganan dalam sepersekian detik ikut berkontribusi pada kematian bayi tersebut.

Dokumen itu juga memperlihatkan bagaimana para dokter di ruang UGD di rumah sakit-rumah sakit di California, Nebraska, Arkansas dan South Carolina gagal memeriksa detak jantung janin atau pasien yang sudah keluar dari rumah sakit dalam persalinan aktif, sehingga akhirnya harus melahirkan di rumah atau di ambulans.

Dara Kass, seorang dokter pengobatan darurat yang juga mantan pejabat di Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia AS (Department of Health and Human Services/HHS) memperingatkan bahwa kekurangan tenaga perawat dan dokter sejak awal mula perebakan Covid-19, kesulitan dalam menyediakan staf USG sepanjang waktu, dan undang-undang aborsi yang baru telah menjadikan ruang gawat darurat sebagai tempat yang berbahaya bagi perempuan hamil. [em/jm]