Baru saja menyelesaikan pertemuan puncaknya dengan para pemimpin negara-negara di Belahan Bumi Barat, Presiden AS Joe Biden kini mempersiapkan dua perjalanan ke luar negeri pada bulan depan.
Kedua pertemuan itu adalah KTT G-7 di Jerman dan pertemuan NATO di Spanyol pada akhir Juni, diikuti dengan kunjungan pertengahan Juli ke Israel, Tepi Barat dan Arab Saudi, di mana dia akan berpartisipasi dalam pertemuan puncak Dewan Kerjasama Teluk.
“Itulah alasan saya pergi, dan itu ada hubungannya dengan keamanan nasional bagi mereka — bagi orang Israel. Saya punya program. Bagaimanapun, ini ada hubungannya dengan isu-isu yang jauh lebih besar daripada hanya berkaitan dengan energi,” ujar Biden.
Your browser doesn’t support HTML5
Hubungan AS-Saudi sangat dekat selama pemerintahan Trump, tetapi telah mendingin di bawah Biden, yang menyebut kerajaan itu sebagai “paria” ketika dia mencalonkan diri untuk jabatan presiden.
Hubungan itu semakin tegang setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018, yang menurut intelijen AS telah disetujui oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Tetapi dengan melonjaknya harga bensin yang mendorong inflasi, Biden telah memilih untuk melibatkan Saudi, yang memainkan peran besar di pasar BBM global – dan di Timur Tengah secara lebih luas.
Jon Alterman adalah direktur Program Timur Tengah di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS).
“Ini sebagian tentang Yaman. Dan ini sebagian tentang Iran. Ini sebagian tentang normalisasi dengan Israel. Dan ini sebagian tentang produksi BBM. Ini sebagian tentang energi hijau dan transisi energi dan peran Saudi dalam hal itu. Dan itu sebagian tentang pembangunan ekonomi, kemitraan ekonomi. Dan ini sebagian tentang meningkatnya peran perempuan di Arab Saudi,” tukasnya.
Biden akan terbang langsung dari Israel, sekutu terdekat Amerika di Timur Tengah, ke Jeddah, Arab Saudi. Penerbangan seperti itu adalah yang pertama bagi seorang presiden AS, mengikuti penerbangan bersejarah Trump tahun 2017 dari Riyadh ke Tel Aviv. Israel tidak memiliki hubungan formal dengan Arab Saudi.
BACA JUGA: AS Mengatakan Hubungan dengan Arab Saudi pada ‘Pijakan Kokoh’Washington telah terlibat dalam diplomasi diam-diam untuk memperluas Kesepakatan Abraham (Abraham Accords), sebuah perjanjian masa pemerintahan Trump bagi negara-negara Arab untuk menormalkan hubungan dengan Israel.
Brian Katulis adalah peneliti senior di Middle East Institute, sebuah lembaga kajian kebijakan dan pusat budaya non-profit, non-partisan di Washington, D.C.
“Saya cenderung meredam harapan bahwa akan ada terobosan besar pada saat ini, semata-mata karena apa yang saya dengar dari para pejabat Saudi adalah adanya keraguan mendalam tentang kurangnya kemajuan di Palestina, serta ketidakstabilan yang sedang berlangsung di tempat-tempat seperti Yerusalem,” ujarnya.
Bagi Saudi, normalisasi dengan Israel akan membutuhkan kemajuan besar dalam pembicaraan damai Israel-Palestina. Tetapi, dengan sedikit kemajuan yang terlihat dan bentrokan yang kini berlangsung, termasuk pertengkaran baru-baru ini menyusul tuduhan bahwa pasukan Israel membunuh seorang jurnalis Palestina-Amerika, prospek perdamaian itu tetap redup. [lt/em]