Debat kedua antara dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabwo Subianto, pada hari Minggu mendatang (17/2) akan membahas tema lingkungan hidup dan sumber daya energi.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebutkan lima agenda utama pada sektor energi yang harus dijalankan oleh presiden terpilih tahun ini. Kelima agenda itu terkait pembenahan tata kelola sektor energi dalam jangka panjang.
Fabby menjelaskan hal pertama yang harus dikerjakan presiden terpilih adalah mereformasi tata kelola energi nasional, baik itu sektor mineral dan barang tambang, kelistrikan, dan energi terbarukan. Salah satunya dengan memerangi mafia.
Dia mengakui di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai memberantas mafia migas namun pekerjaan ini belum rampung . Masih terjadi kebocoran penerimaan negara disektor minyak dan gas juga di industri batu bara. Fabby menekankan perbaikan kelola industri energi nasional ini sangat penting karena menyangkut kepentingan orang banyak.
Agenda kedua yakni ketahanan dan keamanan pasokan energi buat jangka panjang dengan melakukan transisi sistem.
Your browser doesn’t support HTML5
“Untuk presiden terpilih perlu kita mulai memikirkan bagaimana Indonesia mulai keluar dari jeratan bahan bakar fosil. Caranya dengan meningkatkan pembangunan energi bersih, energi terbarukan. Tetapi itu nggak bisa dilakukan dalam jangka pendek, harus disiapkan secara bertahap. Tapi kalau nggak dimulai, kita ketinggalan,” ujar Fabby.
Sayangnya, lanjut dia, RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) ditujukan untuk membangun PLTU batu bara dalam sepuluh tahun mendatang. Padahal emisi batu bara akan berlangsung selama 40 tahun ke depan. Mestinya, pemerintah memusatkan perhatian pada investasi di sektor energi terbarukan karena nilainya lebih murah, sehingga harga listrik kian murah.
Lebih lanjut menurutnya presiden terpilih juga harus menjalankan agenda aksi pengendalian dan mitigasi terhadap efek gas rumah kaca, serta penurunan dampak lingkungan dari infrastruktur energi . Sebab Indonesia ikut menandatangani Kesepakatan Paris untuk memerangi perubahan iklim dan perjanjian internasional tersebut sudah diratifikasi dalam bentuk undang-undang pada 2016.
Presiden terpilih tambahnya harus menyediakan kebutuhan energi yang berkesinambungan dengan harga terjangkau dan terdistribusi merata. Selama ini, kata Fabby, pemerintah terjebak dengan agenda-agenda jangka pendek dengan penyediaan listrik murah, menyediakan subsidi bagi pembangkit listrik bertenaga batu bara. Namun subsidi tidak diberikan kepada industri energi terbarukan.
Agenda kelima yaitu peningkatan investasi di migas, listrik untuk energi terbarukan. Salah satunya melalui listrik surya atap dan potensi untuk Jawa sendiri bisa menghasilkan listrik 9-12 gigawatt.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan sesungguhnya dalam debat calon presiden pada 17 Februari nanti ada lima tema berbeda yang diangkat, yakni energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur.
Dia berharap dua kandidat presiden mampu konsisten dan fokus pada visi misi serta program, sehingga debatnya nanti tidak akan berlangsung seperti debat pertama, dimana pasangan calon cenderung bermain aman dan fokus pada narasi-narasi populer, tetapi pendalaman materi kampanye gagal.
“Jangan sampai karena upaya untuk menarik dan meyakinkan pemilih sebagai prioritas yang lebih mengemuka, maka pilihan-pilihan untuk bicara hal-halyang lebih populer tapi tidak mendalami materi kampanye, itu lebih dialami para paslon di dalam waktu yang 19 menit itu,” ujar Titi.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengharapkan dalam debat kedua nanti, dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo , dapat menjawab persoalan pelik yang dihadapi sektor energi dan tata kelolanya . Dia menekankan yang terpenting adalah adanya kemauan politik dari kedua calon presiden tersebut untuk mencapai ketahanan dan kelangsungan penyediaan energi.
Menurut Maryati, sumber energi di dalam negeri sudah kritis sehingga Indonesia mestinya waspada menghadapi kehabisansumber daya bahan bakar fosil. Apalagi sampai saat ini, lebih dari 50 persen kebutuhan energi domestik masih bersumber dari minyak.
Dulu lanjutnya ketika berkampanye pada Pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo menjanjikan pembangunan kilang minyak sekian. Tapi setelah 4-5 tahun, tidak banyak kilang minyak yang dibangun, hanya melakukan revitalisasi beberapa saja.
Karena itu Maryati meminta kedua kandidat presiden tidak terlalu menjanjikan hal yang bersifat normatif. Sebab yang dibutuhkan adalah kepemimpinan, misalnya bagaimana memberantas mafia migas atau mafia tambang yang memonopoli rente.
“Kenapa monopoli itu harus ditolak? Karena dia berhubungan dengan politik dan berhubungan dengan kebijakan, yang membuat kebijakan kita terkurung. Jadi kalau kita mempertahankan mafia, itu juga menghancurkan janji-janji politik siapapun pemenangnya nanti,” ujar Maryati.
Maryati menjelaskan produksi minyak akan terus menurun dalam sepuluh tahun mendatang dan batu bara bisa habis dalam 28 tahun. Jika ada pertumbuhan infrastruktur yang masif, Indonesia juga bisa bergantung pada impor gas alam cair (LNG).
Fabby Tumiwa berharap kedua kandidat presiden bisa menyampaikan visi dan misinya, serta apa yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan tantangan internal serta eksternal dalam lima tahun ke depan.
Fabby menjelaskan kondisi eksternal saat ini adalah penyediaan energi di Indonesia sangat bergantung pada energi global, maka kondisi pasar energi global harus menjadi pertimbangan. Dia mencontohkan 80 persen produksi batu bara Indonesia diekspor ke Thailand, Cina, India, Korea Selatan, Jepang, Filipina. Selain itu, 50 persen hasil gas alam Indonesia diekspor, Indonesia mengimpor lebih dari 800 ribu barel minyak mentah dan BBM.
Menurut Fabby, yang menjadi tantangan adalah sudah ada 21 negara berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan PLTU batubara sebelum 2030. Sejunlah lembaga pembiayaan juga sudah menolak mendanai pertambangan batu bara.
Kondisi internal, lanjutnya, pemerintah menjadikan harga energi sebagai komoditas politik. Dia mencontohkan penurunan harga BBM dua bulan terakhir menjelang pelaksanaan pemilihan umum pada April mendatang.
Lebih lanjut Fabby menjelaskan impor minyak dan BBM bakal meningkat karena produksi dalam negeri menurun. Hal inilah yang menyebabkan neraca perdagangan sepanjang tahun lalu negatif.
Di sisi lain, katanya, upaya pemerintah untuk melakukan diversifikasi energi tidak berjalan di mana target energi terbarukan pada 2025 mencapai 23 persen dari total produksi energi. Dia menyebut selama 2015-2018 hanya ada penambahan 800 megawatt.
Fabby menduga hingga akhir tahun ini, penambahan energi terbarukan cuma 500-600 megawatt. Sebagian besar adalah proyek energi hidro, panas bumi, angin, dan energi surya. Sehingga sampai akhir 2019, penambahan energi terbarukan menjadi 1.300-1.400 megawatt. Target ini lebih rendah ketimbang pencapaian pada 2010-2014 sebesar 2.700 megawatt.
Produksi batu bara dalam dua tahun belakangan, 2018-2019, dioptimalkan menjadi 400 juta ton untuk menutup defisit neraca perdagangan. Namun dia memperingatkan angka produksi tersebut akan berbahaya kalau permintaan batu baru dari Cina dan India menurun.
Karena itu, menurut Fabby, lima agenda penting di sektor energi harus dikerjakan oleh presiden terpilih tahun ini. [fw/em]