Perjalanan kurang dari satu jam, dari kota Yogyakarta ke Kampung Turgo di lereng Gunung Merapi Kabupaten Sleman, menyuguhkan keindahan lansekap dan hawa dingin yang khas. Di sisi utara, rumah-rumah warga berbatasan langsung dengan hutan. Kabut akan menyelimuti kawasan ini pada sore hari, waktu yang tepat menikmati sajian kopi di warung kopi Merapi, yang dikelola Musimin dan istrinya, Sari.
“Kopinya kami tanam sendiri, memang sudah ada sejak dulu. Di hutan belakang rumah ini ada banyak pohon kopi, sebagian besar tinggalan dari orang tua dulu,” kata Sari kepada VOA.
Meski jauh di lereng gunung, warung kopi ini menyediakan akses internet cukup cepat berkat bantuan bank daerah. Pengunjung bisa menikmati kopi dan hawa dingin, sembari mengerjakan tugas kuliah atau pekerjaan kantor. Jika program work from destination yang digaungkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif beberapa pekan lalu bisa berjalan, warung kopi Merapi di Turgo ini mungkin akan kedatangan lebih banyak konsumen.
“Kami biasa rame kalau Sabtu dan Minggu,” lanjut Sari.
Destinasi wisata alam yang sepi dan dinilai lebih aman dari risiko penularan tersebar merata di sekitar Yogya. Rata-rata hanya dibutuhkan perjalanan satu jam untuk sampai ke Menoreh di barat, kaki Merapi di utara, pantai di sisi selatan, atau kawasan wisata alam gunung purba hingga Mangunan di sisi tenggara. Ini adalah pilihan menarik bagi pekerja di Jakarta atau kota besar lain, yang bosan bekerja dari rumah dan mencari nuansa berbeda.
Kebijakan yang Adaptif
Sayang, pemerintah harus mengevaluasi program ini karena lonjakan kasus dalam dua pekan terakhir. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno menekankan ini dalam keterangan pers mingguan, yang dia sampaikan dari Balkondes Borobudur, Jawa Tengah, Selasa (22/6). Sandi menyebut, work from destination jika dilakukan dengan bingkai protokol kesehatan yang ketat dan disiplin, merupakan salah satu inovasi dan adaptasi di tengah pandemi dan tantangan ekonomi.
“Namun kita mengambil kebijakan berbasis data dan berbasis sains, dan data dan sains ini bergerak terus. Data dua minggu lalu sama data hari ini tentunya berbeda, dan kebijakan kita akan sangat berbeda. Jadi, waktu kita mengambil kebijakan dua minggu lalu dan hari ini, semua harus disesuaikan. Dan itu adalah komitmen kita untuk menyesuaikan kebijakan berbasis data dan sains,” ujar Sandi.
Sandi memastikan Kemenparekraf memperhatikan data kasus dan status zona tempat wisata berada. Jika memang berstatus merah, kementerian bahkan sudah memberi arahan penutupan destinasi wisata. Panduan untuk menghadapi situasi yang genting saat ini telah ditetapkan, dan pelaku wisata serta wisatawan diharapkan mematuhinya.
Your browser doesn’t support HTML5
Salah satu penerapan kebijakan adalah bahwa program work from destination akan menyesuaikan penerapan PPKM Mikro. Daerah dengan status kuning misalnya, tentu diperbolehkan, sedangkan yang berstatus merah diminta untuk dihindari.
“Di tengah-tengah situasi yang sangat volatile, uncertain, complex dan ambigue, kebijakan model sandbox yang harus kita hadirkan, sehingga kita akan mampu melewati periode yang penuh tantangan ini,” tambahnya.
Pelaku Wisata Berhati-Hati
Doto Yogantoro, pengelola desa wisata Pentingsari di Kabupaten Sleman, Yogyakarta meyakini pelaku wisata dan pemerintah daerah memegang peran penting terkait buka atau tidaknya destinasi wisata.
“Kalau dihentikan total, saya kira juga mengurangi semangat masyarakat, tetapi pintar-pintarnya pengelola memilih dan memilah, kira-kira tamu yang diterima latar belakangnya apa, tujuannya apa, asalnya darimana,” kata Doto kepada VOA.
Dia memberi contoh, beberapa hari lalu ada rombongan yang terpaksa ditolak untuk menginap di Pentingsari, karena pemberitahuan yang mendadak. Pengelola telah menyepakati skala prioritas dalam menerima wisatawan. Keputusan untuk menerima atau tidak rombongan wisata ada di masyarakat. Status kesehatan wisatawan juga menjadi perhatian penting, dan karena itu seluruh proses tersebut tidak bisa mendadak.
“Kalau tamu dari kalangan pemerintah biasanya kita terima, karena secara protokol kesehatan mereka sudah bisa dipastikan,” ujar Doto.
Diakui Doto, ketika pemerintah menerapkan program work from destination, euforia memang terjadi. Terobosan ini disambut baik setelah sekitar setahun sektor pariwisata prihatin. Namun dia juga mengakui, tidak semua pengelola destinasi wisata siap dengan penerapan protokol kesehatan secara ketat. Tetap ada kemungkinan kenaikan kasus karena pelaku perjalanan, dalam hal ini wisatawan, yang datang ke destinasi di zona hijau.
Pilihan untuk selektif menerima wisatawan tentu berdampak pada pemasukan pengelola destinasi. Namun, dalam kasus desa wisata, menurut Doto dampaknya bisa ditekan karena pelakunya adalah warga desa yang hidup dari sektor lain, seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan jenis pekerjaan lain. Ketika wisatawan tidak datang, mereka tetap hidup menjalani profesi asalnya.
Pada destinasi yang khusus menggantungkan pendapatan dari perjalanan wisata, kasusnya tentu berbeda dan membutuhkan jalan keluar lain.
Prinsipnya, kata Doto, pelaku sektor wisata tidak menyalahkan siapapun atas kondisi yang ada.
“Semua harus berpikir positif, bahwa ini kondisi kita bersama. Pemerintah tetap harus mengupayakan program yang dirasa benar, koordinasi dengan daerah. Masyarakat harus bisa antisipasi, kalau dibuka dan menerima wisatawan dampaknya bagaimana. Bukan hanya ekonomi, tetapi juga dampak psikologis,” tambah Doto yang juga Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata DIY.
Daerah Lakukan Penyesuaian
Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta menerapkan kebijakan khusus untuk menekan laju penyebaran COVID 19. Salah satunya adalah menutup wisata pantai, yang sangat populer di daerah ini, pada Sabtu dan Minggu untuk menghindari penumpukan wisatawan. Dalam keterangannya pada Selasa (22/6), Bupati Bantul Abdul Halim Muslih meminta pelaku wisata bersabar menghadapi kenyataan ini. Dia menegaskan, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X setuju dengan kebijakan itu.
"Penanggulangan pandemi harus diutamakan meskipun ada dampak ekonominya. Jadi secara prinsip, Sri Sultan bisa memahami langkah Pemkab Bantul, karena toh hanya Sabtu dan Minggu. Masih ada lima hari lainnya dan hanya dua akhir pekan, begitu beliau bilang,” kata Abdul Halim.
Kebijakan ini diambil karena wisata pantai menjadi tujuan bagi wisatawan luar daerah. Ada kekhawatiran, wisatawan yang datang dari zona merah kemungkinan sudah terpapar virus, dan bisa menularkan di kawasan wisata.
“Di situ bahayanya. Dampaknya tetap akan di warga dan pemerintah setempat,” tambah Abdul Halim.
Kebijakan penutupan tempat wisata ini menjadi lebih penting sementara varian Delta diyakini sudah menyebar dalam beberapa pekan terakhir. Lonjakan kasus di daerah maupun angka nasional membuktikan kekhawatiran itu.
Kebijakan penutupan, menurut Abdul Halim, akan dievaluasi. Jika kasus menurun dan instruksi penutupan tidak berlaku lagi, maka pembukaan tempat wisata bisa dilakukan dengan pengawasan ketat aparat. Secara teknis, dimungkinkan pembatasan pengunjung dengan menghitung berapa yang masuk dan berapa yang keluar dari lokasi wisata maupun tempat makan. [ns/ka]