Korban aksi terorisme masa lalu – yang dihitung sejak kasus bom Bali 1 hingga serangan bom di Mapolda Riau pada Mei 2018 – kini dapat mengajukan kompensasi dan bantuan lainnya kepada negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 133 Tahun 2023 atas Uji Materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, pada 29 Agustus 2024.
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi kesempatan bagi korban, khususnya yang belum mendapatkan sama sekali bantuan maupun kompensasi, atas aksi terorisme yang menimpanya. Pengajuan dimulai sejak November 2024 hingga Juni 2028, dengan syarat utama mendapat penetapan sebagai korban aksi terorisme oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
“Perpanjangan ini menjadi kesempatan bagi para korban yang belum mendapatkan haknya bisa mengajukan kembali. Namun demikian, untuk mengajukan permohonan tersebut, perlu dilengkapi atau dilampiri, itu adalah surat keterangan bahwa yang bersangkutan adalah korban tindak pidana terorisme masa lalu," kanya.
"Jadi, itu yang menjadi utama kenapa kemudian BNPT menjadi salah satu lembaga yang sangat penting, untuk mengidentifikasi mana korban yang benar-benar memang korban tindak pidana terorisme atau bukan," imbuh Susilaningtias.
Ia menambahkan hingga kini sudah 785 orang korban tindak pidana terorisme yang mendapatkan bantuan dari negara melalui LPSK, yang tersebar di berbagai daerah seperti Bali, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Surakarta, Jawa Barat, dan daerah lain di Indonesia.
Diberikan Sebagian kepada Korban
Total dana kompensasi yang telah diberikan sebesar Rp. 113 miliar, yang mencakup Rp. 98 miliar bagi 572 korban dan Rp14 miliar bagi 213 orang. Semuanya ditetapkan lewat putusan pengadilan.
“Tindak pidana terorisme masa kini maupun masa lalu itu ada 700-an sekian, tapi kalau untuk khusus tindak pidana terorisme masa lalu sudah kami berikan kompensasi, sekitar 570-an, baik itu kompensasi maupun bantuan yang lainnya," kata Susilaningtias.
BACA JUGA: BNPT: Sel-Sel Teror di Indonesia Konsolidasi Lewat Perekrutan dan PropagandaKasubdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme BNPT, Rahel, mengatakan warga yang menjadi korban aksi terorisme dapat mengajukan hak mereka sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Rahel memahami akan ada banyak kesulitan dan kendala yang dihadapi korban, khususnya untuk memenuhi persyaratan pengajuan hak, sehingga BNPT akan bersinergi dengan para pihak terkait untuk membantu warga yang menjadi korban memperoleh haknya.
“Ada 400-an lebih yang belum, karena data itu juga bisa berkembang, datanya itu harus masih kami sisir lagi, karena itu tidak melibatkan dari BNPT saja, beberapa pihak juga dari Densus yang menetapkan bahwa itu peristiwa terorisme, jadi kami juga untuk menyebarkan data juga kami incharge dengan Densus, apakah peristiwa itu terorisme atau tidak," papar Rahel.
Fatkhul Khoir dari Kontras Surabaya mengatakan trauma yang dialami korban serta banyaknya pendataan yang dilakukan aparat pemerintah pasca kejadian serangan terorisme, menjadi kendala bagi korban untuk mengajukan kompensasi maupun bantuan yang menjadi hak mereka. Selain itu, sulitnya akses informasi dan komunikasi antara korban dengan lembaga yang berwenang, membuat lebih dari separuh korban masih belum mendapatkan haknya.
“Mereka mengalami situasi di mana tidak tahu sebenarnya lembaga yang punya kewenangan untuk kemudian mengeluarkan biaya kompensasi itu. Karena memang, di awal itu korban banyak dilakukan pendataan oleh pemerintah baik itu kota maupun provinsi, yang kemudian pendataan-pendataan itu membuat kebingingan di antara korban. Akhirnya, sampai hari ini banyak korban yang masih ragu dengan adanya putusan ini," katanya.
Besar Dana Kompensasi
Kompensasi yang diberikan Negara melalui LPSK sudah diterima oleh sebagian warga yang menjadi korban aksi terorisme. Sejauh ini korban yang meninggal dunia mendapat uang kompensasi atau kerohiman sebesar Rp250 juta, korban luka berat mendapat Rp210 juta, korban luka sedang mendapat Rp115 juta, sementara korban luka ringan mendapat Rp75 juta. Selain kompensasi, LPSK juga memberikan bantuan lain yakni kesehatan, psikologis, dan psikososial bagi korban aksi terorisme.
Kusuma Budi Sukmono, ayahanda Daniel Agung Putra Kusuma, juru parkir di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS), yang meninggal saat serangan bom pada Mei 2018, berterima kasih atas bantuan yang diterimanya. Saat meninggal, Daniel baru berusia 15 tahun.
“Alhamdulillah juga LPSK memenuhi (hak) kita, jadi kita dapat kompensasi. Ya, waktu itu kita dapat kompensasi diserahkan sama bu Khofifah berupa uang, uang Rp250 juta, kehilangan anak, ya meninggal," katanya.
BACA JUGA: Anak Muda Jadi Teroris: Soal Ideologi dan Menjadi KerenTeddy Jamanto Purnomo, seorang jemaat dari Paroki Santa Maria Tak Bercela di Ngagel, Surabaya, yang terluka dalam serangan bom tersebut dan meninggal tiga tahun kemudian setelah menjalani perawatan, juga menerima bantuan serupa. Lous Andrew, anak Teddy, berharap masih bisa memperoleh bantuan psikososial sebagai bantuan atas terganggunya ekonomi keluarga. Akibat terdampak ledakan bom, ayahnya sempat menjalani perawatan rutin dan tidak bisa bekerja hingga akhirnya meninggal.
“Ini efeknya kan ekonomi karena bapak waktu itu kan kerja, gara-gara sakit kemarin sempat satu tahun gak kerja, karena kepala itu masih ada kacanya. Ya kalau seandainya memungkinkan kita coba, kita maju lagi untuk mengajukan (bantuan psikososial).” [pr/em]