LSM Minta SBY Bentuk Tim Pencari Aktivis yang Hilang

  • Fathiyah Wardah

Demonstan mahasiswa berhadapan dengan militer. Sejumlah aktivis 1997/1998 masih hilang hingga sekarang.

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) meminta Presiden SBY segera membentuk tim untuk mencari keberadaan 13 orang aktivis 1997/1998 yang hingga kini masih hilang.

Dalam rangka memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional di Perpustakaan Nasional, Jakarta, kemarin, sebuah LSM menyampaikan imbauannya agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera membentuk tim untuk mencari keberadaan 13 orang aktivis yang kini masih hilang.

Demikian disampaikan Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Mugiyanto, yang menekannya pentingnya hal tersebut, agar keluarga korban mendapatkan jawaban akhir tentang nasib dan keberadaan sanak saudara mereka yang masih hilang.

Menurut Mugiyanto, masa depan demokrasi Indonesia ke depan akan terancam jika tidak adanya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus penghilangan orang secara paksa.

Presiden Yudhoyono dapat menggunakan tiga dokumen sehubungan dengan pencarian 13 orang aktivis yang masih hilang. Ketiga dokumen tersebut adalah dokumen pengadilan Tim Mawar Kopassus tahun 1999, dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1999 dan dokumen penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk kasus penghilangan orang secara paksa

“Sedikitnya dari tiga dokumen yang sudah ada, Presiden sudah bisa membawa kesimpulan tentang nasib dan keberadaan mereka. Pertama karena pengadilan tim mawar Kopassus itu memeriksa 11 anggota Kopassus yang terlibat dalam penculikan, Dewan Kehormatan Perwira (DKP) memeriksa komandan mereka, sementara penyelidikan Komnas HAM itu berisi informasi, kesaksian, testimoni dari saksi dan korban," ungkap Mugiyanto.

"Kurang apa dari dokumen yang menurut kami sudah cukup komprehensif untuk mengarah pada satu kesimpulan bahwa si A itu berada disini dalam kondisi seperti ini,” tambahnya.

Hampir setahun yang lalu, DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden sehubungan dengan kasus penghilangan paksa aktivis tahun 1997/1998. Rekomendasi itu antara lain, agar Presiden membentuk pengadilan HAM Ad Hoc, untuk melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang serta meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.

Namun, Presiden belum melaksanakan satupun dari rekomendasi tersebut.

Staf Ahli Presiden untuk Bidang Hukum dan HAM Denny Indrayana mengungkapkan saat ini pemerintah sedang merumuskan bentuk kebijakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di antaranya, penghilangan orang secara paksa.

Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu banyak yang belum terungkap hingga kini. Banyak hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus pelanggaran HAM tidak ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung karena belum adanya pengadilan HAM Ad Hoc. Untuk itu, menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh, presiden harus segera mengeluarkan Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc.

“Presiden segera membentuk pengadilan HAM Ad Hoc itu, dan kemudian Kejaksaan Agung segera melakukan penyidikan terhadap hal ini,” kata Ridha.

Sementara itu, Tuti Koto, ibu dari Yani Apri, salah seorang aktivis yang hilang berharap pemerintah dapat segera memberikan informasi tentang nasib anaknya.

“Ibu minta keadilan di negara ini. Kejelasan di mana dia hidup atau sudah tidak ada dia, ibu harus tahu,” kata Tuti Koto.

Ia mengaku apapun informasi yang akan diterimanya sehubungan dengan keberadaan Yani Apri, ia siap menerimanya.