Terdakwa kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik, Setya Novanto, dan tersangka kasus yang sama, Made Oka Masagung, kembali diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Senin (26/3). Pemeriksaan terhadap keduanya dilakukan secara terpisah.
Usai pemeriksaan, Kuasa hukum Made Oka Masagung, Bambang Hartono kepada wartawan mengatakan bahwa kliennya membantah pernyataan Setya Novanto di pengadilan baru-baru ini yang menyatakan adanya aliran dana korupsi KTP elektronik kepada dua politisi PDIP Puan Maharani dan Pramono Anung.
Dalam persidangan, Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menyatakan keduanya menerima suap dari Made Oka Masagung masing-masing $500 ribu atau setara sekitar 6,8 miliar rupiah. Setya mengaku tahu adanya aliran uang ke Puan dan Pramono dari pengusaha Made Oka saat berkunjung ke rumahnya bersama pengusaha Andi Narogong.
Puan Maharani yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR. Sedangkan Sekretaris Kabinet Pramono Anung saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.
Baca: Setya Novanto: Puan dan Pramono Anung Terima Uang Suap E-KTP
Bambang juga menjelaskan bahwa kliennya tidak pernah mendatangi rumah mantan Ketua DPR Setya Novanto pada Oktober 2012 untuk menyampaikan perihal aliran dana kepada Puan Maharani dan Pramono Anung.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kata Bambang,berencana mengkonfrontasi kliennya dengan Setya Novanto, dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Rencana menghadapkan Setya dan Made Oka akan dilakukan saat pemeriksaan pada pekan depan.
“Minggu depan akan dikonfrontir. Kalau menurut klien saya, pernyataan Setnov di muka pengadilan minggu lalu itu tidak benar. Dan itu sudah dibantah oleh yang bersangkutan. Aliran dana itu tidak ada sama sekali.tidak ada,” kata Bambang.
Ketua DPP PDI perjuangan Andreas Hugo Parera membantah dua politisi PDIP Puan Maharani dan Pramono Anung menerima aliran dana KTP elektronik . Menurutnya sebagai partai oposisi kala itu partainya tidak berwenang mengambil keputusan.
“Apa yang disampaikan oleh Pak Setnov juga berdasarkan informasi bahwa beliau mendengar.Ini kan asumsi, asumsi yang belum mempunyai kekuatan hukum dan kalau kita berbicara hukum harus ada faktanya. Yang pasti apa yang disampaikan Pak Setnov, kita melihat bahwa bobot hukumnya rendah dan tidak ada alasan hukum dan di BAP juga tidak disebutkan nama Mbak Puan dan Pak Pramono,” kata Andreas.
Salah satu pengacara Novanto, Firman Wijaya, mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada KPK. Dia mengaku tidak bisa berkomentar lebih jauh soal keterangan Setya Novanto tersebut.
Terdakwa kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto telah menyampaikan permohonan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk “menjadi justice collaborator.”
“Justice collaborator” adalah saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu perkara, dalam hal ini korupsi KTP elektronik.
Baca: Kuasa Hukum Setnov Anggap Dakwaan Janggal
Bagi saksi pelaku yang ditetapkan menjadi ‘’justice collaborator,’’ hakim dapat mempertimbangkan hal-hal tertentu ketika menjatuhkan vonis, antara lain pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
Sementara Peneliti Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkun, mengatakan jaksa dan hakim mempunyai kewajiban untuk mengecek apa yang disampaikan Setya Novanto sesuai tidak dengan fakta-fakta persidangan.
“Kalau terbukti ini harus dikejar. Karena apa? misteri sudah mulai hampir terbongkar Kalau kita ingat kerugian negara itu 2,3 triliun rupiah. Bukan jumlah yang kecil. Dari 2.3 trilliun sebetulnya belum betul-betul terungkap kemana nih, siapa yang diuntungkan karena antara kerugian negara dengan pihak yang diuntungkan itu adalah delik yang berbeda dalam pidana korupsi,” kata Tama.
Kamis (29/3), terdakwa korupsi KTP elektronik akan kembali menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta dengan agenda pembacaan tuntutan. [ft]
Your browser doesn’t support HTML5