Terdakwa kasus korupsi KTP elektronik Setya Novanto menyampaikan permohonan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk "menjadi justice collaborator."
Justice collaborator adalah saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu perkara, dalam hal ini korupsi KTP elektronik.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah kepada wartawan mengatakan lembaganya saat ini sedang mempertimbangkan permohonan tersebut. Menurutnya ada tiga syarat utama yang akan dipertimbangkan serius oleh KPK yaitu apakah Setya Novanto menyadari betul dan mengakui perbuatan yang dilakukannya dalam hal ini adalah perbuatan korupsi pada proyek KTP elektronik. Selain itu, apakah mantan Ketua DPR tersebut bersedia membuka peran pihak lain atau peran aktor-aktor lain yang lebih besar. KPK, lanjut Febri, akan melihat apakah Setya Novanto secara konsisten memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dalam proses persidangan dan juga proses penyidikan yang terkait kasus ini.
Menurut rencana KPK akan mengumumkan diterima tidaknya permohonan Setya Novanto itu dalam sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum pada Kamis (29/3).
"Salah satu indikator kapan seseorang dikabulkan posisinya sebagai justice collaborator ketika kita mengajukan tuntutan misalnya.tetapi itu diuji lagi oleh hakim karena hakim nanti akan melihat apa benar orang ini pelaku utama atau tidak, bersedia membuka peran pihak-pihak lain di persidangan atau tidak, mengaku perbuatannya atau justru berbelit-belit atau tidak, hakim akan menilai itu," jelasnya.
Baca: Setya Novanto: Puan dan Pramono Anung Terima Uang Suap E-KTP
Setya Novanto didakwa menerima uang US$ 7,3 juta dolar dari proyek KTP Elektronik.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga didakwa menerima satu jam tangan Richard Mille seri RM 011 seharga 135 ribu dolar AS yang dibeli pengusaha Andi Agustinus bersama direktur PT Biomorf Industry Johannes Marliem, sebagai bagian dari kompensasi karena membantu memperlancar proses penganggaran.
Setya Novanto hingga kini belum mengakui telah menerima uang 7,3 juta dolar Amerika seperti yang didakwakan.
Dalam dakwaan, jaksa menyatakan Setya Novanato berperan sebagai orang yang meloloskan anggaran proyek KTP elektronik di DPR pada 2010-2011. Ketika itu Setya Novanto menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar.
Pengacara Setya, Novanto Firman Wijaya, mengatakan pengajuan diri kliennya sebagai justice collaborator dikarenakan kliennya ingin bekerja sama dengan KPK dalam membongkar kasus megakorupsi tersebut.
"Yang paling penting adalah kemauan untuk bekerjasama memberikan informasi. Harus ada pengakuan bersalah? Posisi itu tentu akan dikaitkan dengan proses hukum, pembuktiannya," ujarnya.
Dalam persidangan pemeriksaannya, Setya Novanto juga mengungkapkan sejumlah nama politisi yang menerima uang suap proyek KTP elektronik, di antaranya Puan Maharani, Pramono Anung dan Ganjar Pranowo.
Mereka yang disebut Setya Novanto itu telah membantah tudingan tersebut. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani ketika proyek KTP elektronik itu dimulai menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP di DPR, Sekretaris Kabinet Pramono Anung ketika itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika itu merupakan anggota komisi II DPR.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan siap dikonfrontasi dengan siapa saja karena menurutnya ia tidak pernah menerima uang dari proyek KTP elektronik yang telah merugikan negara 2,3 trilliun rupiah.
Pramono mengatakan, "Saya tidak pernah omong satu katapun yang berkaitan atau berurusan dengan e-KTP termasuk semua pejabat yang diperiksa dan ada di persidangan kemarin, tidak ada satupun yang berbicara e-KTP dengan saya. Karena menyangkut integritas, saya pribadi siap dikonfrontasi dengan siapa saja."
Pengajuan justice collaborator dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik juga pernah diajukan oleh pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong. Pengajuan itu dikabulkan KPK.
Bagi saksi pelaku yang ditetapkan menjadi justice collaborator, hakim dapat mempertimbangkan hal-hal tertentu ketika menjatuhkan vonis, antara lain pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Akan tetapi, dalam pemberian perlakuan khusus, misalnya keringanan hukuman pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. [fw/em]