Di ruang kosong, sejumlah siswa terlihat duduk di lantai sambil melafalkan alfabet. Namun mereka bukan anak-anak. Murid-murid di ruangan itu adalah perempuan pengungsi yang berada di Malaysia, beberapa berusia akhir 50-an, yang untuk pertama kalinya belajar membaca dan menulis, baik dalam bahasa Melayu maupun Inggris.
Associated Press melaporkan, Jumat (20/11), kelas mingguan di lingkungan kumuh di luar Kuala Lumpur itu dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Women for Refugees. Kelompok ini dibentuk pada bulan September oleh dua mahasiswa hukum untuk membantu perempuan migran yang buta huruf berintegrasi ke dalam komunitas lokal dan memberdayakan mereka untuk menjadi lebih dari sekadar istri yang pasif.
"Saya bahkan tidak tahu ABC saya, tapi sekarang saya sedang belajar," kata Zaleha Abdul, 54, seorang pengungsi Muslim Rohingya. Dia bilang ingin lebih mandiri saat pergi berbelanja atau saat di mana pun.
Seperti Zaleha, banyak perempuan pengungsi di Malaysia telah mempelajari bahasa lokal, tetapi tanpa mengetahui cara membaca atau menulis. Mereka kebanyakan terbatas pada lingkungan yang sudah dikenal.
Arissa Jemaima Ikram Ismail, 23, adalah seorang relawan di sebuah badan bantuan ketika seorang pemimpin pengungsi di kota Selayang, meminta bantuan untuk mengangkat perempuan di komunitasnya. Kota ini merupakan rumah bagi banyak pekerja migran.
BACA JUGA: Bantu Tampung Pengungsi Rohingya, Indonesia Desak Dunia Berikan Bantuan NyataDia dan sesama mahasiswa hukum Davina Devarajan, 25, kemudian bertemu dengan beberapa perempuan dan terkejut ketika tahu mereka ingin belajar bahasa Inggris dan bahasa Melayu. Arissa mengatakan, bagi sebagian besar perempuan pengungsi, pendidikan sering dianggap sebagai prioritas rendah.
Duet mahasiswa ini kemudian membentuk Women for Refugees dan merekrut guru melalui platform Instagram. Mereka sekarang memiliki sekitar 20 sukarelawan, memberikan kelas melek huruf dalam bahasa Inggris dan Melayu selama dua jam yang digelar secara mingguan. Pelatihan itu dilakukan di blok dua lantai yang kumuh yang menampung sekitar 50 keluarga.
“Sangat penting bagi kami untuk tidak menjadikan perempuan pengungsi sebagai amal, di mana mereka terus-menerus membutuhkan bantuan pihak eksternal,” kata Arissa. “Kami ingin membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan sehingga mereka dapat menopang diri mereka sendiri dan berkontribusi kembali kepada masyarakat.”
Kelas gratis terbuka untuk semua perempuan migran, meski saat ini para siswanya semuanya dari Myanmar dan Indonesia.
Lebih dari selusin wanita, mulai dari usia 18 hingga 50 tahun, awalnya hadir dengan membawa serta anak-anak mereka, yang ternyata mengganggu. Kelompok tersebut kemudian membuat kelas khusus untuk anak-anak di ruang terpisah agar ibu mereka dapat belajar dengan tenang.
Davina mengatakan mereka berharap untuk memperluas kelas di lingkungan lain dan memasukkan keterampilan teknis yang dapat membantu perempuan memperoleh penghasilan.
Namun, semua kelas telah dihentikan sejak pertengahan Oktober seiring dengan pembatasan yang diberlakukan di Kuala Lumpur dan daerah sekitarnya untuk mengekang lonjakan baru kasus virus corona. Pembatasan diperluas ke sebagian besar negara bulan ini, dan semua sekolah di seluruh negeri ditutup hingga akhir tahun.
Arissa mengatakan pengajaran masih berlanjut dengan pelajaran yang direkam sebelumnya yang dilihat di tiga laptop bersama di tempat tinggal para migran. Selain itu, kelas tatap muka juga dilakukan seminggu sekali untuk anak-anak migran yang lebih tua.
Kelompok Arissa bukanlah yang pertama menawarkan kursus melek huruf bagi pengungsi di Malaysia, tetapi salah satu dari sedikit yang berfokus pada perempuan. Sekitar 178 ribu pengungsi dan pencari suaka di negara ini terdaftar di Komisi Tinggi Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan banyak kantong komunitas pengungsi ditinggalkan dalam hal peluang pendidikan.
Ketika The Associated Press berkunjung pada bulan Oktober sebelum kelas dihentikan, Shahidah Salamatulah, 38, termasuk di antara tiga wanita yang belajar bagaimana mereka berkomunikasi dalam bahasa Inggris jika mereka harus mencari perawatan di klinik medis. Para perempuan terkikik melihat kelakuan guru sukarelawan Aljazair mereka.
Shahidah, seorang Muslim dari Myanmar dan ibu dari dua anak, mengatakan dia sedang mempersiapkan kehidupan baru di luar negeri. Dia dipanggil untuk wawancara tiga kali pada tahun lalu oleh UNHCR tentang kemungkinan untuk bermukim kembali ke negara ketiga, tetapi belum ada berita lanjutan di tengah pandemi virus corona.
“Bahasa Inggris penting bagi kami ketika kami pergi ke luar negeri kami akan membutuhkan bahasa Inggris,” katanya. [ah/au]