Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala mengatakan upaya pemerintah untuk mengintegrasikan sistem peradilan pidana berbasis teknologi (sistem database Perkara Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) belum berjalan.
Ia beralasan masing-masing lembaga yang menangani perkara pidana memiliki sistem yang berbeda-beda. Akibatnya, kata dia, tidak ada standar operasional prosedur (SOP) yang sama antara polisi, kejaksaan, pengadilan dan lapas. Padahal kata dia, semua lembaga mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam memproses perkara pidana.
"Banyak aparat yang tidak mau menginput data. Masih mental manual, bahkan kalau mau lebih jelek lagi, masih ingin menyembunyikan. Tidak transparan, kenapa gitu? jangan-jangan mau digorenglah, kalau kita pakai bahasa seperti itu," jelas Adrianus usai menyampaikan evaluasi SPPT-TI di Jakarta, Senin (25/2).
Adrianus menambahkan evaluasi sistem pidana berbasis teknologi ini telah disampaikan ke lembaga-lembaga terkait. Ia berharap sistem database yang ada di masing-masing lembaga bisa dihilangkan secara perlahan untuk memudahkan integrasi sistem antar lembaga. Sistem terpadu tersebut dapat di bawah koordinasi kementerian koordinator politik, hukum dan ham untuk menghilangkan kecurigaan antar lembaga.
Your browser doesn’t support HTML5
"Selama tidak ada komitmen dari Kapolri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung. Maka tidak ada gunanya ini SPPT-TI," tambahnya.
Menanggapi ini, Menko Polhukam Mahfud Md meminta sejumlah instansi terkait menindaklanjuti saran dan rekomendasi yang diberikan Ombudsman. Sebab, ia masih menemui beberapa penanganan perkara pidana masih lama. Salah satu penyebabnya yaitu lamanya petugas mengunggah informasi kasus pidana ke sistem database online.
"Saya minta agar dipresentasikan ke semua stakeholder. Itu supaya perkara pidana transparan, tidak main-main di bawah meja dan cepat. Sebab kadangkala ada perkara yang sudah diputus, tapi masih simpang siur," jelas Mahfud.
Mahfud berharap penanganan perkara pidana ke depan dapat dilakukan secara transparan dan cepat melalui teknologi informasi. Sehingga masyarakat dapat melihat informasi perkara pidana tersebut secara online.
"Masyarakat tidak harus datang ke kantor menemui orang. Tinggal diklik saja melalui komputer masing-masing. Perkara ini sampai apa, berapa vonisnya, siapa hakimnya. Kapan harus menyatakan banding. Itu semua sudah bisa," tambah Mahfud. [sm/em]