Mahkamah Konstitusi Thailand telah memberhentikan untuk sementara waktu PM Prayuth Chan-O-Cha dari tugas-tugasnya, sementara mahkamah mempertimbangkan apakah ia telah mencapai akhir dari masa jabatan delapan tahunnya.
Putusan hari Rabu itu diambil setelah partai-partai oposisi mengajukan petisi yang menyebut Prayuth, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta 2014, telah habis masa jabatannya.
Seorang penjabat perdana menteri ditunjuk hingga Mahkamah mengeluarkan putusan dalam kasus ini. Di antara para kandidat utama untuk peran tersebut adalah Wakil PM Prawit Wongsuwan.
Sehari sebelumnya, kelompok-kelompok pengunjuk rasa berkumpul di Ibu Kota Thailand, Bangkok, untuk menyerukan agar PM Prayuth mundur, dengan alasan ia telah melebihi batas masa jabatan konstitusionalnya.
BACA JUGA: Parlemen Thailand Mulai Perdebatkan Mosi Tidak Percaya terhadap PMDemonstrasi di Monumen Demokrasi Bangkok itu diikuti kurang dari 200 pengunjuk rasa, yang berbaur dengan penonton dan wartawan. Para aktivis antipemerintah telah mengupayakan pengunduran diri Prayuth selama hampir tiga tahun. Mereka mengatakan ia memegang jabatan itu secara tidak sah karena berkuasa dengan memimpin kudeta militer yang menyingkirkan pemerintah terpilih pada tahun 2014.
Menurut pengunjuk rasa, masa jabatan delapan tahun Prayuth berakhir hari Selasa, sehari sebelum peringatan ia menduduki jabatan perdana menteri dalam pemerintah militer yang dibentuk setelah kudeta.
Tetapi para pendukung Prayuth menganggap penghitungan masa jabatannya dimulai setelah 2014. Mereka mengatakan konstitusi sekarang ini, yang memuat ketentuan mengenai pembatasan masa jabatan perdana menteri selama delapan tahun, mulai berlaku pada 6 April 2017, dan tanggal inilah yang seharusnya digunakan sebagai awal masa jabatannya.
Penafsiran lain yang mendukung Prayuth melanjutkan kekuasaannya adalah penghitungan itu seharusnya dimulai dari 9 Juni 2019, sewaktu ia mulai berkuasa berdasarkan konstitusi baru setelah pemilu 2019. [uh/ab]