Mantan perdana menteri Pakistan Imran Khan, Selasa (30/1), dijatuhi hukuman 10 tahun penjara, kurang dari dua minggu sebelum negara itu melangsungkan pemungutan suara dalam pemilu. Partai Khan tidak bisa ikut serta dalam pemilu itu.
Hukuman terhadap Khan dijatuhkan di dalam penjara Adiala, di mana dia telah dikurung sejak penangkapannya pada Agustus dan menghadapi banyak kasus yang menurut Khan sengaja diatur untuk menghalanginya untuk mencalonkan diri dalam pemilu.
Hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada Shah Mehmood Qureshi, wakil presiden partai Tehreek-e-Insaf (PTI) Pakistan yang menjabat sebagai menteri luar negeri di bawah Khan.
“Mantan perdana menteri Imran Khan dan wakil presiden PTI Qureshi masing-masing dijatuhi hukuman 10 tahun penjara,” kata juru bicara partai tersebut kepada AFP.
Media pemerintah juga melaporkan keputusan pengadilan dan hukumannya.
Kasus yang menimpa kedua pria tersebut terkait dengan tuduhan mereka membocorkan dokumen rahasia negara.
BACA JUGA: Kampanye Dimulai Bagi Pemilu Nasional Pakistan yang TertundaKhan adalah perdana menteri dari 2018 hingga 2022 – ketika dia digulingkan dalam mosi tidak percaya setelah kehilangan dukungan dari para pemimpin militer negara tersebut.
Sebagai pemimpin oposisi, ia melancarkan kampanye pembangkangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap para petinggi, menuduh mereka menggulingkannya dalam konspirasi yang didukung Amerika Serikat (AS) dan merencanakan upaya pembunuhan terhadap dirinya,
Khan sempat ditangkap pada Mei lalu, dan Islamabad menggunakan kerusuhan yang terjadi untuk membenarkan tindakan keras terhadap PTI yang menyebabkan banyak pemimpin senior membelot atau bersembunyi.
“Ini adalah pembunuhan terhadap keadilan,” kata Tauseef Ahmed Khan, seorang aktivis HAM dan analis politik.
“Namun, popularitasnya di kalangan masyarakat akan tumbuh pesat karena simpatisan dia akan meningkat karena ketidakadilan yang parah ini.”
BACA JUGA: Partai Mantan PM Pakistan Imran Khan Batal Pakai Logo Pemukul KriketPTI sebagian besar absen dari ruang publik menjelang pemilu.
Simbol pemilu partai tersebut telah dicabut, dan para kandidat terpaksa mencalonkan diri secara perorangan.
Pada saat yang sama Nawaz Sharif – ketua salah satu partai dinasti yang secara historis memimpin Pakistan – telah kembali dari pengasingan dan mendapati banyak sekali hukuman yang dijatuhkan padanya dibatalkan di pengadilan.
Para analis mengatakan ini adalah tanda bahwa mantan perdana menteri yang pernah tiga kali menjabat itu adalah kandidat favorit para petinggi, yang telah memerintah Pakistan secara langsung sepanjang sejarahnya.
Menurut konstitusi Pakistan, pemilu harus diadakan dalam waktu 90 hari setelah parlemen dibubarkan – yang terjadi lima bulan lalu pada bulan Agustus.
Komisi pemilu mengatakan penundaan dilakukan karena perlunya menentukan ulang batas daerah pemilihan setelah sensus baru pada 2023.
Untuk sementara waktu, Pakistan diperintah oleh pemerintahan sementara yang dianggap lunak oleh pihak militer.
Sementara itu, kuasa hukum Khan, Salman Safdar, menilai putusan tersebut tidak konstitusional dan tidak akan bertahan dalam pemeriksaan pengadilan yang lebih tinggi.
Mantan perdana menteri berusia 71 tahun itu digulingkan pada April 2022 lalu oleh aliansi oposisi. Khan menganggap pengadilan sandi itu bermuatan politis dan direkayasa oleh militer negara itu.
Pengadilan dengan hakim tunggal tersebut melakukan persidangan dalam penjara dengan keamanan tinggi dekat Islamabad, tanpa akses ke perwakilan media asing dan sebagian besar media arus utama Pakistan [ab/lt/ti]