Masjid Diharapkan Tak Jadi Tempat Kampanye Terselubung

  • Fathiyah Wardah

Diskusi bertema “Masjid Dalam Pusaran Kekuasaan,” yang berlangsung di Jakarta, hari Rabu (30/5). (Foto: VOA/Fathiyah)

Masjid diharapkan tidak dijadikan sebagai tempat berpolitik praktis dan tidak menjadi tunggangan untuk kepentingan pemilihan umum. Masjid juga tidak boleh dijadikan sebagai tempat kampanye terselubung.

Menjelang pemilihan kepala daerah akhir bulan depan dan pemilihan umum pada April tahun depan, suhu politik menghangat. Salah satu isu paling hangat dibahas adalah politisasi masjid.

Sejumlah pihak, terutama pendukung Presiden Joko Widodo, menilai sebagian umat Islam telah memanfaatkan masjid menjadi ajang politik praktis, terutama untuk mengajak kaum mayoritas di Indonesia supaya memilih calon tertentu.

Isu ini menjadi perbincangan dalam diskusi bertema “Masjid Dalam Pusaran Kekuasaan,” yang berlangsung di Jakarta, hari Rabu (30/5).

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Arteria Dahlan mengatakan masjid merupakan sarana umat Islam untuk membahas segala persoalan, bukan sekadar tempat beribadah. Dalam sejarahnya masjid memang pernah menjadi pusat pergerakan dengan mengumpulkan umat Islam untuk merespon segala persoalan yang berkembang di tengah masyarakat dan membangun peradaban.

"Tapi sepanjang untuk aktivitas hoaks, aktivitas ujaran kebencian, aktivitas memecah belah, serangan kepada empat pilar kebhinnekaan berbangsa, melakukan fitnah, itu nggak boleh. Apalagi di dalam masjid. Bagaimana melakukan kampanye hitam, nggak boleh," ujar Arteria.

Baca juga: Pemerintah Larang Politik Praktis Dibicarakan di Rumah Ibadah

Arteria menambahkan tidak sedikit yang menyalahgunakan masjid untuk berpolitik praktis, bahkan tempat kampanye terselubung. Meskipun demikian Arteria tidak ingin gegabah menyebut politisasi masjid sebagai sesuatu yang haram atau dilarang.

Pengamat politik Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Bakir Ihsan mengatakan berbicara mengenai masjid dan politik sama halnya dengan membahas relasi agama dan politik, hubungan agama dan negara. Menurutnya ada tiga jenis relasi antara agama dan politik.

Pertama, relasi dominatif dan ini terjadi dalam negara sekuler, yakni politik atau negara mendominasi dan agama menjadi bagian dari otoritas negara. Dalam hal ini agama hanya menjadi urusan masing-masing individu.

Kedua, relasi antagonistik, dimana muncul pandangan depolitisasi masjid. Pandangan ini didasarkan pada asumsi masjid punya urusan sendiri yaitu ibadah, sedangkan negara atau politik mengurus hal-hal lain di luar ibadah.

Ketiga, relasi simbiosis, dimana agama dan politik saling berbagi tugas namun saling menguatkan karena memiliki pijakan dan tujuan yang sama, yaitu untuk kebaikan bersama.

"Orang datang ke masjid adalah untuk menyucikan diri, untuk memperbaiki diri, bertobat dan sebagainya. Di sisi lain, politik adalah bicara tentang suksesi, tentang proses regenerasi, pergantian kekuasaan untuk mencapai kepemimpinan yang lebih baik. Jadi, ada titik singgung tujuan kebaikan oleh orang yang datang ke masjid dengan politik," tutur Bakir.

Bakir menambahkan masjid sedianya menjadi pusat semua kegiatan masyarakat untuk mencapai kebaikan bersama. Masjid sebaiknya bersifat inklusif, tidak membeda-bedakan umat berdasarkan bahasa, sekte, etnis, budaya, atau suku. Karena sifat universitalitas masjid itulah, Bakir menekankan politik yang bisa dibicarakan di masjid adalah politik universal yang tidak tersekat oleh ketokohan atau simbol partai. Ia berharap masjid bisa menjadi tempat pendidikan politik bagi umat Islam tentang bagaimana memilih pemimpin yang jujur dan amanah.

Your browser doesn’t support HTML5

Masjid Diharapkan Tak Jadi Tempat Kampanye Terselubung

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Jaurana Amirudin mengatakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, masjid memiliki peran penting dan strategis dalam kehidupan umat Islam. Selain sebagai tempat beribadah, masjid berperan untuk kepentingan umat secara keseluruhan. Ditambahkannya, berbicara politik di masjid sah-sah saja dalam konteks pendidikan politik, politik yang berkeadaban, politik adiluhung, bukan politik yang pragmatis atau praktis.

"Menyampaikan kajian tentang kriteria seorang pemimpin menurut perspektif Islam seperti apa, calon-calon yang akan kita pilih nanti. Itu kan sah-sah saja," tukas Jaurana.

Jaurana mengatakan hal ini sudah dilakukan di beragam masjid meski masih ada beberapa masjid yang kebablasan dalam hal tersebut.

Data dari Dewan Masjid Indonesia, hingga saat ini ada 800 ribu masjid dan musholla di Indonesia. [fw/em]