Thelda Williams sudah berusia 40 tahunan ketika ia pertama kali terpilih di dewan kota di Phoenix, Arizona. Tetapi hal itu tidak membuat orang berhenti mengasumsikan bahwa ia tidak mampu melakukan tugasnya. Anggota Partai Republik itu percaya orang meremehkannya karena ia seorang perempuan.
“Staf saya pada awalnya benar-benar memperlakukan saya seperti, ‘oh mungkin Anda tidak memahaminya.’ Oh mungkin ini terlalu membingungkan. Mungkin terlalu banyak subyek. Anda tahu, saya membuktikan bahwa mereka salah," kata Thelda.
Puluhan tahun kemudian Thelda Williams masih duduk di dewan kota itu, tiga kali menjabat sebagai walikota sementara, yang terbaru berakhir Maret lalu. Salah satu hal yang membuatnya masih percaya bahwa ia tidak diperlakukan setara adalah soal bagaimana media meliput dirinya.
“Anda tahu, saya tidak mendapat penghormatan yang sama. Maksud saya, mereka bicara tentang semuanya, mulai dari sepatu yang saya kenakan, warna rambut, hingga usia. Hal ini tidak terjadi pada laki-laki. Dan yang benar-benar paling mengganggu saya adalah ketika yang menulis artikel itu justru perempuan.” kata Thelda.
Meremehkan perempuan dalam dunia politik bukanlah hal baru. Stereotip dan standar ganda terus dikenakan pada politisi perempuan, ujar Debbie Walsh, Direktur Center for American Women & Politics di Universitas Rutgers, di New Jersey.
“Dan itu dimulai dengan hal-hal yang mendasar dan sederhana seperti dikecam karena penampilan fisik, apa yang mereka kenakan, cara berbicara. Dalam pemilu presiden 2016 lalu kami mendengar komentar bahwa Hillary Clinton tidak banyak tersenyum. Kami tidak pernah mendengar hal itu pada sosok seperti Bernie Sanders, padahal semua orang tahu ia bukan orang yang suka tersenyum. Ia sangat pemarah. Juga Donald Trump,” kata Debbie.
BACA JUGA: Media Australia Lancarkan Protes terhadap UU SensorPerempuan juga dikecam karena dinilai suaranya melengking ketika semangat bicara. Media memusatkan perhatian pada rincian yang tidak terkait dengan isu, yang secara elektoral merugikan perempuan tersebut.”
"Jika media tidak memfokuskan perhatian pada yang dibicarakan perempuan, tetapi lebih pada penampilan mereka dan hal itu mengurangi sosok mereka sebagai kandidat yang serius. Ini semakin menjadi tantangan bagi perempuan yang sedang mencalonkan diri karena ia tidak dianggap dengan cara yang sama seperti laki-laki, bahwa ia memenuhi syarat dan mampu memegang jabatan-jabatan ini. Jadi mereka harus membuktikan diri dengan cara yang tidak perlu dilakukan oleh laki-laki," kata Debbie.
Jumlah perempuan yang bertarung untuk jabatan presiden maupun memperebutkan kursi di Kongres pada tahun 2020 adalah yang terbesar dalam sejarah Amerika. Di kubu Partai Demokrat, ada Senator Amy Klobuchar, Senator Kirsten Gillibrand, Senator Elizabeth Warren, Senator Kamala Harris dan anggota DPR Tulsi Gabbard. Meskipun hingga akhir tahun ini hanya Senator Elizabeth Warren yang bertahan sebagai kandidat calon presiden Partai Demokrat. Jumlah perempuan yang bertarung untuk kursi Senat dan DPR dari Partai Republik juga naik pesat.
BACA JUGA: Keterwakilan Perempuan di Parlemen MeningkatEmily List -satu organisasi yang merekrut, melatih dan mendukung kandidat perempuan di Partai Demokrat yang mendukung hak-hak aborsi, mengatakan besarnya jumlah perempuan ini jauh lebih dahsyat dibanding reaksi politik terhadap situasi yang ada.
Menurut Presiden Emily List, sejak awal 2017 lebih dari 50 ribu perempuan menghubungi organisasi itu untuk meminta bantuan mencalonkan diri. Mereka tidak saja diberi ilham tentang isu-isu berperspektif gender yang harus diangkat, tetapi juga cara berpenampilan, cara supaya didengar publik dan berperilaku.
Hal-hal ini dinilai penting karena bagaimana pers meliput mereka dapat berdampak pada sikap publik, dan tentunya peruntungan politik mereka.
Di Massachusetts, Fakultas Jurnalistik di Northeastern University, Maret lalu mengkaji hampir 1.400 artikel tentang pemilu presiden tahun 2020. Fakultas tersebut mendapati kandidat perempuan secara konsisten digambarkan lebih negatif dibanding rekan-rekan laki-laki mereka. Kandidat perempuan dengan ulasan positif paling sedikit, Kristen Gillibrand, telah mengundurkan diri dari pertarungan pemilu presidne 2020.
BACA JUGA: Kristalina Georgieva dan Puan Maharani, Dua Perempuan di Kursi PanasWalsh mengatakan kandidat perempuan harus memimpin debat presiden secara berbeda dibanding laki-laki karena laki-laki yang menyela atau menegaskan pernyataan dirinya dalam debat tidak ditulis dengan cara yang sama seperti perempuan yang melakukan hal serupa.
Walsh juga prihatin dengan pertanyaan tentang elektabilitas yang berulang.
“Ada asumsi bahwa setelah pilpres tahun 2016, faksi Demokrat harus 'main aman' dan tidak mengambil risiko pada kandidat perempuan, bahwa mereka 'harus menang.' Saya menganggap kandidat calon presiden 'tradisional' Partai Demokrat adalah laki-laki, berkulit putih dan berusia mungkin lebih dair 60 tahun," kata Debbie.
Thelda Williams tidak berharap suatu hari nanti liputan media akan fokus hanya pada isu-isu dan bukan penampilan, gaya atau usianya.
“Maksud saya, tampaknya media tidak akan berubah. Saya kira mereka (media.red) berharap tingkah laku saya menjadi lebih baik, lebih lemah lembut. Laki-laki dapat mengatakan apa saja dan tidak dikritik media, bahkan ketika mereka mengucapkan makian sekalipun -sementara perempuan tidak bisa begitu. Saya kira mereka berharap Anda harus berkelakuan baik," ujar Thelda.
Berdasarkan pengalamannya, ada kerugian yang sangat spesifik bagi masyarakat ketika perempuan tidak ada di meja pengambilan keputusan.
“Saya kira pada awalnya, memprihatinkan. Tidak hanya bagi orang - anak-anak, warga lansia, keluarga, hewan. Saya kira semua akan merugi jika hanya membiarkan laki-laki yang mengambil keputusan. Moral akan sangat jauh berbeda jika ada ada perempuan politisi. Saya kira mereka memberi lebih banyak rincian dan kedalaman pada hampir setiap subyek.”
Aktivis Erin Schrode, yang gagal untuk meraih kursi di Kongres tahun 2016, menceritakan bagaimana ia kerap menghadapi serangan misoginis, dan bahkan ancaman fisik dari media non-tradisional. Kampanye online melawannya diatur oleh sebuah situs web neo-Nazi yang populer.
BACA JUGA: Puan Maharani, Perempuan Pertama Jadi Ketua DPR“Mereka menyindir bahwa saya telah atau akan melakukan tindakan seksual untuk meraih kursi di dunia politik. Di satu sisi mereka mengatakan saya tidak akan mendapatkan posisi itu jika saya tidak cantik. Tapi di sisi lain mereka mengatakan terlalu mengerikan jika saya menduduki kursi itu," kata Erin.
Terlepas dari pelecehan dan serangan di dunia maya yang dialaminya, Schrode setuju dengan Williams bahwa lebih banyak perempuan dibutuhkan di kantor-kantor publik.
“Kita membutuhkan perspektif dan pandangan perempuan. Perempuan adalah komunikator ulung. Perempuan adalah pejuang. Perempuan adalah ibu. Perempuan adalah kekuatan yang harus diperhitungkan, di mana pun juga. Dan tentunya juga di pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif," kata Erin. [em]