Organisasi wartawan kritisi pemberitaan media yang berpotensi justru tidak berimbang dan memicu konflik dalam Pemilu 2014, akibat keterlibatan aktif pemilik media dalam partai politik peserta Pemilu.
JAKARTA —
Berbagai kalangan memprediksi beberapa faktor yang menjadi potensi ancaman keamanan nasional dalam pelaksanaan Pemilu 2014. Salah satunya adalah pemberitaan media yang menjadi faktor pendukung utama dalam terlaksananya Pemilu berkualitas, jujur dan adil.
Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ) Ali Priambodo Jumat (28/2) berpendapat pemberitaan media bisa memicu konflik dalam Pemilu 2014 ini karena adanya kepentingan para pemilik media yang saat ini terlibat aktif dalam Pemilu. Fenomena ini menurutnya menjadi ancaman buat netralitas pemberitaan yang disajikan untuk dikonsumsi publik.
“Keterlibatan pemilik media dalam Pemilu 2014 tentunya akan memperngaruhi netralitas pemberitaan. Kenapa? Karena tentunya polanya sudah jelas untuk memenangkan atau memberikan ruang yang besar bagi si pemilik secara faktual melalui iklan-iklan di televisi. Peran media disini justru terncam rawan memicu konflik jika perkembangannya terus seperti ini. Kami di PWJ berharap netralitas ini tetap harus dijaga, karena biar bagaimanapun ruang publik tidak bisa dimiliki oleh siapapun,” papar Priambodo.
Priambodo menyarankan para jurnalis yang ada di lapangan peliputan saling berinteraksi dalam forum-forum diskusi, yang tentunya dapat memperluas wawasan.
“Wartawan atau jurnalis harus punya ruang yang baru dalam bentuk forum-forum diskusi untuk saling sharring atau memberikan sudut pandang yang lebih luas dan juga kembali terbuka sebagaimana semangat pers yang mendukung keterbukaan dan semangat netralitas,” lanjut Priambodo.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Umar Idris kepada VOA melihat azas perimbangan sajian pemberitaan terlihat berat sebelah, khususnya di perusahaan media yang pemiliknya menjadi pimpinan partai politik peserta pemilu.
“Sudah banyak sekali muncul keraguan kepada media massa seperti ini. Apakah bisa independen atau partisan. Kita masih sering melihat misalnya di salah satu stasiun televisi melihat tayangan selalu saja ada informasi-informasi yang cenderung seperti iklan sebuah partai milik bos mereka. Nah sebetulnya yang diperlukan oleh media tersebut adalah azas keberimbangan. Jika dia memberi porsi terhadap satu partai politik artinya dia harus memberikan porsi yang sama kepada partai lain. Ini yang tidak terlihat,” kata Umar.
Umar Idris menambahkan AJI berharap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat bersikap tegas dalam melakukan pengawasan termasuk saat mengeluarkan sanksi kepada perusahaan media yang jelas-jelas melakukan pelanggaran. AJI lanjut Umar juga meminta peran aktif dari Dewan Pers agar lebih pro aktif dalam memberikan peringatan kepada media yang jelas-jelas memihak kepada salah satu parpol.
Mantan anggota KPI, Dadang Rahmat, mengatakan frekuensi gelombang siaran adalah milik negara. Siapapun yang menggunakan frekuensi publik ini menurutnya, harus mendapatkan izin dari negara dan digunakan untuk kepentingan publik.
“Penyiaran itu merupakan sebuah media yang menggunakan frekwensi. Dalam konteks ITU (International Telecomunication Union) (frekwensi) itu dinyatakan sebagai milik publik. Dan tidak boleh dimiliki oleh siapapun. Dan itu dikelola oleh negara. Dan siapapun yang menggunakan frekwensi itu harus atas izin negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik,” ungkap Dadang.
Dadang menambahkan, sulit untuk mengharapkan pemilu yang independen ketika media tidak menjalankan fungsinya dalam mendidik masyarakat dan menjaga netralitas.
Ketua Poros Wartawan Jakarta (PWJ) Ali Priambodo Jumat (28/2) berpendapat pemberitaan media bisa memicu konflik dalam Pemilu 2014 ini karena adanya kepentingan para pemilik media yang saat ini terlibat aktif dalam Pemilu. Fenomena ini menurutnya menjadi ancaman buat netralitas pemberitaan yang disajikan untuk dikonsumsi publik.
“Keterlibatan pemilik media dalam Pemilu 2014 tentunya akan memperngaruhi netralitas pemberitaan. Kenapa? Karena tentunya polanya sudah jelas untuk memenangkan atau memberikan ruang yang besar bagi si pemilik secara faktual melalui iklan-iklan di televisi. Peran media disini justru terncam rawan memicu konflik jika perkembangannya terus seperti ini. Kami di PWJ berharap netralitas ini tetap harus dijaga, karena biar bagaimanapun ruang publik tidak bisa dimiliki oleh siapapun,” papar Priambodo.
Priambodo menyarankan para jurnalis yang ada di lapangan peliputan saling berinteraksi dalam forum-forum diskusi, yang tentunya dapat memperluas wawasan.
“Wartawan atau jurnalis harus punya ruang yang baru dalam bentuk forum-forum diskusi untuk saling sharring atau memberikan sudut pandang yang lebih luas dan juga kembali terbuka sebagaimana semangat pers yang mendukung keterbukaan dan semangat netralitas,” lanjut Priambodo.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Umar Idris kepada VOA melihat azas perimbangan sajian pemberitaan terlihat berat sebelah, khususnya di perusahaan media yang pemiliknya menjadi pimpinan partai politik peserta pemilu.
“Sudah banyak sekali muncul keraguan kepada media massa seperti ini. Apakah bisa independen atau partisan. Kita masih sering melihat misalnya di salah satu stasiun televisi melihat tayangan selalu saja ada informasi-informasi yang cenderung seperti iklan sebuah partai milik bos mereka. Nah sebetulnya yang diperlukan oleh media tersebut adalah azas keberimbangan. Jika dia memberi porsi terhadap satu partai politik artinya dia harus memberikan porsi yang sama kepada partai lain. Ini yang tidak terlihat,” kata Umar.
Umar Idris menambahkan AJI berharap Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat bersikap tegas dalam melakukan pengawasan termasuk saat mengeluarkan sanksi kepada perusahaan media yang jelas-jelas melakukan pelanggaran. AJI lanjut Umar juga meminta peran aktif dari Dewan Pers agar lebih pro aktif dalam memberikan peringatan kepada media yang jelas-jelas memihak kepada salah satu parpol.
Mantan anggota KPI, Dadang Rahmat, mengatakan frekuensi gelombang siaran adalah milik negara. Siapapun yang menggunakan frekuensi publik ini menurutnya, harus mendapatkan izin dari negara dan digunakan untuk kepentingan publik.
“Penyiaran itu merupakan sebuah media yang menggunakan frekwensi. Dalam konteks ITU (International Telecomunication Union) (frekwensi) itu dinyatakan sebagai milik publik. Dan tidak boleh dimiliki oleh siapapun. Dan itu dikelola oleh negara. Dan siapapun yang menggunakan frekwensi itu harus atas izin negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik,” ungkap Dadang.
Dadang menambahkan, sulit untuk mengharapkan pemilu yang independen ketika media tidak menjalankan fungsinya dalam mendidik masyarakat dan menjaga netralitas.