Kerusakan lingkungan akibat kerusakan hutan di Indonesia banyak disebabkan oleh penebangan hutan secara liar, tanpa memperhatikan keberlangsungan ekosistem hutan serta makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Selain perusahaan besar, masyarakat lokal juga dituduh sebagai pelaku pembabatan hutan.
Persoalan ekonomi paling sering menjadi alasan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, untuk melakukan penebangan pohon secara ilegal. Kemiskinan masyarakat di beberapa daerah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi pembenaran masyarakat melakukan pembukaan lahan hutan secara tidak terkontrol.
“Masyarakat sudah ada di dalam kawasan hutan, mengelola terlebih dahulu tanpa melalui proses skema perijinan. Itu semata-mata desakan ekonomi, sebagian besar masyarakat di sekitar hutan itu 70 persen masyarakat miskin, dikarenakan ada tuntutan ekonomi tadi sehingga masyarakat itu ingin membuka akses ke hutan, ingin mengelola hutan, cuma di situ mereka tidak melakukan sesuai proses yang ada,” jelas Madani Mukodam, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Rinjani Barat.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Program Kemitraan Kehutanan, yang memberi akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan dengan sistem bagi hasil. Hal ini dilakukan untuk mencegah serta meminimalisir tindakan masyarakat yang membuka lahan hutan secara sembarangan.
Rinadim, Kepala Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara menuturkan, sebelum pemerintah memunculkan Program Kemitraan Kehutanan, masyarakat banyak yang menebangi hutan tanpa kontrol sehingga semakin luas hutan yang gundul di kawasan itu.
“Ya semaunya penggarap, ya mau nebang kek mau apa, karena sebelum Kemitraan Kehutanan kan hanya ditangani sama Dinas Kehutanan, hanya Dinas ini hadir di hutan itu paling 3 bulan sekali, sehingga kontrol dengan para perambah dan pelaku ilegal logging itu gak ada,” ungkapnya.
Program Kemitraan Kehutanan yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2014 hingga 2019, memberikan target kelola lahan untuk seluruh Indonesia hingga mencapai 12,7 juta hektar. KPHL Rinjani Barat di Desa Rempek, Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi salah satu percontohan nasional pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat.
Your browser doesn’t support HTML5
Pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat tanpa ijin sempat meluas di wilayah KPHL Rinjani barat hingga mencapai 18.750 hektar, sehingga pemerintah perlu menawarkan program Kemitraan Kehutanan untuk mengatasi konflik yang sering terjadi antara pemerintah dengan masyarakat lokal.
Program Manager Sustainable Environmental Governance, lembaga Kemitraan, Hasbi Berliani mengatakan, pemberian akses dan legalitas kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan diyakini akan membantu mencegah konflik terkait lahan, sekaligus mencoba menyelesaikan persoalan kemiskinan yang seringkali menjadi masalah masyarakat.
“Tujuan kita sebenarnya yang penting adalah bagaimana memberikan akses yang legal kepada masyarakat, jadi ada kepastian hukum yang penting disitu. Pada akhirnya dua tujuan utama yang juga selalu menjadi slogan pemerintah, bagaimana hutan ini bisa lestari, tapi juga bisa memberikan penghidupan bagi masyarakat,” kata Hasbi Berliani.
Kasdi Irawan, warga Desa Rempek menuturkan, konsep Kemitraan Kehutanan berhasil diterima masyarakat pengelola hutan, karena sistem bagi hasil yang dirasa menguntungkan masyarakat. Sebelumnya masyarakat penggarap lahan khawatir masuknya program pemerintah akan berdampak pada di ambil alihnya lahan garapan masyarakat. Sementara masyarakat juga sempat merasa diperlakukan tidak adil, karena banyak perusahaan dan pihak luar yang bebas membuka lahan di hutan gunung Rinjani itu.
“Di Kemitraan Kehutanan ini kan prosentasenya jelas, antara Koperasi dengan KPH, di prosentase ini kalau HHK (hasil hutan bukan kayu), sudah sepakat dengan KPH, bahwa 75 persen masyarakat, 25 persen pemerintah dalam hal ini KPH. Kemudian HHBK-nya (hasil hutan bukan kayu) 90 persen masyarakat, 10 persen pemerintah,” kata Kasdi.
Madani Mukodam menegaskan, program Kemitraan Kehutanan yang memberikan legalitas bagi masyarakat untuk mengelola hutan, diyakini akan dapat menjadikan lahan kritis di kawasan itu kembali hijau. Selain itu persoalan krisis air akan dapat teratasi, dan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih meningkat.
“Nanti ke depan kalau itu sudah kita perbaiki, saya yakin optimis bahwa nanti tata air akan kembali bagus, mata air kembali ada nanti, dan masyarakat sejahtera pendapatannya dari hasil hutan bukan kayu, buah-buahan ada, airnya juga bagus, sawah-sawahnya bisa terairi,” jelas Madani. [pr/em]