Tidak banyak yang bisa dilakukan Nur Alom, pengungsi Rohingnya yang saat ini terdampar di Medan, Sumatra Utara. Dia meninggalkan kampungnya yang terbakar di Myanmar pada 2013.
“Tidak ada kerja di sini. Sehari-hari tidur, makan, salat, macam itu lah. IOM (organisasi PBB yang mengurusi masalah migran -red) kasih tiap bulan uang makanan saja,” kata Nur ketika dihubungi VOA.
Untuk biaya makan, sebagai kepala keluarga Nur Alom menerima bantuan dari International Organization for Migration (IOM) uang sebesar Rp1,25 juta. Sementara setiap anaknya menerima bantuan sebanyak Rp500 ribu. Sebagai pengungsi, Nur Alom tidak bisa bekerja untuk menambah penghasilan. Karena itu lah, penantian terbesarnya adalah ada negara yang mau menerima kehadirannya.
“Saya cuma berharap, ada negara ketiga bisa terima, sehingga saya bisa bekerja di sana,” ucapnya.
Ada ribuan pengungsi bernasib seperti Nur Alom.
Indonesia memang bukan negara yang meratifikasi Konvensi Internasional dan Protokol tentang pengungsi dari luar negeri. Karena itu, status Indonesia adalah negara transit, dan melayani pengungsi atas dasar kemanusiaan. Mandat perlindungan terhadap pengungsi tetap berada pada Organisasi Pengungsi PBB (UNHCR).
Namun, bagaimanapun Indonesia meratifikasi hampir semua konvensi HAM Internasional, termasuk Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Karena itu, wajar jika pemerintah menjamin hak atas kehidupan minimum yang layak bagi para pengungsi, seperti Nur Alom.
Pemberdayaan Bukan Pekerjaan
Data menunjukkan bahwa masa transit pengungsi asal luar negeri di Indonesia rata-rata mencapai 5-10 tahun. Kondisi ini menjadi tekanan mental dan sosial bagi mayoritas pengungsi karena hak-hak ekonomi mereka yang tidak terjamin.
Namun, I Nyoman Gede Surya Mataram, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, Kementerian Hukum dan HAM Indonesia, menegaskan hal itu adalah aturan.
“Untuk warga negara asing yang boleh bekerja adalah yang memiliki visa kerja dan mendapatkan persetujuan dari Disnaker (Dinas Tenaga Kerja -red), dan bagi pengungsi dari luar negeri yang tidak memiliki visa dan paspor yang berlaku, mungkin tidak bisa melakukan kegiatan bekerja,” kata Nyoman, dalam diskusi “Strategi Pemberdayaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia Sebagai Peningkatan Solusi ke Negara Ketiga”, Senin (10/7).
Direktorat Imigrasi mencatat jumlah pengungsi di Indonesia saat ini mencapai 12.781 orang. Sebanyak 6.522 orang tinggal di penampungan resmi, dan sisanya berstatus pengungsi mandiri. Ditilik dari asal negaranya, sebanyak 6.703 orang berasal dari Afghanistan, dari Myanmar 1.359 orang, Somalia ada 1.260 orang, dari Irak 614 orang, Sudan 489 orang, dan 2.356 sisanya berasal dari berbagai negara lain.
BACA JUGA: Indonesia: Belum Ada Kebutuhan Mendesak untuk Ratifikasi Konvensi 1951 Soal Status PengungsiMeski tidak bisa bekerja, kata Nyoman, pengungsi bisa menerima pembekalan ketrampilan sebelum diterima ke negara ketiga. Syaratnya, pemberdayaan itu dilaksanakan tetap di dalam area penampungan.
“Seperti contohnya, yang bersangkutan bisa diberikan kursus bahasa Inggris, memasak dan sebagainya,” kata Nyoman.
Pemberdayaan dengan memberikan pelatihan ini memang dimungkinkan, kata Brigjen Pol Dr Bambang Pristiwanto, pejabat yang mengurus soal pengungsi di Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Pemerintah bisa melakukan kegiatan ini atas dasar kemanusiaan dengan tetap mempertimbangkan respons masyarakat Indonesia sendiri agar tidak memunculkan kecemburuan sosial.
“Upaya pemberdayaan ini ditujukan untuk mempersiapkan diri bagi pengungsi, ketika mereka betul-betul di-resettlement ke negara ketiga, sehingga dia siap untuk bekerja di sana,” jelas Bambang.
Namun, langkah itu pun bukan tugas yang mudah bagi pemerintah. Masih ada banyak kendala dalam menangani pengungsi dari luar negeri di Indonesia, misalnya belum optimalnya akses pendidikan dan perlindungan. Selain itu, masa transit pengungsi di Indonesia, yang bisa mencapai 10 tahun bahkan lebih, diakui terlalu panjang.
“Waktu dan proses pelaksanaan resettlement para pengungsi ke negara tujuan yang terlalu lama. Tidak ada batasan waktu. Di aturannya pun juga belum ditegaskan secara jelas berapa lama mereka berada di Indonesia. Kebalikannya, negara tujuan belum tentu menerima para pengungsi ini,” tambah Bambang.
Problem klasik lain adalah soal anggaran. Di banyak wilayah, pemerintah daerah justru membubarkan satuan tugas yang menangani pengungsi. Jika pun ada, anggarannya tidak tersedia. Salah satu alasan yang sering didengar Bambang dari pejabat di daerah adalah kekhawatiran mereka terkait kecemburuan masyarakat lokal.
BACA JUGA: Lebih dari 180 Muslim Rohingya Tiba dengan Perahu di Aceh“Warga negara sendiri belum diurus dengan baik, kenapa pengungsi luar negeri yang dipikir,” kata Bambang menirukan pernyataan para pejabat lokal itu.
Hadapi Banyak Tantangan
Achsanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan, Direktorat Jenderal Multilateral, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengakui ada banyak tantangan dihadapi dalam mengelola isu ini.
“Di dalam konteks intenasional dan kawasan, saat ini kita menghadapi tantangan dalam penanganan pengungsi. Mulai diri belum kondusifnya dan belum ada optimisme dalam penyelesaian akar masalah,” ujarnya.
Akar masalah yang disebut Habib, adalah kondisi di mana para pengungsi itu berasal. Sebagai contoh, yang paling dekat secara geografis adalah Rohingnya di Myanmar. Dia mengakui situasi konteks kawasan ini sangat vital dan sangat sulit dicarikan jalan keluar.
Habib mengatakan, kawasan pengungsi di Bangladesh, di mana mayoritas pengungsi Rohingnya berada, sangat overcrowded dan underfunded.
“Sudah ada pemotongan ransum, pengurangan biaya logistik, konsumsi dan sebagainya. Ini akan meningkatkan boat movement para pengungsi yang juga akhirnya akan menjadi korban dari kejahatan lintas batas, tindak pidana perdagangan orang,” jelas Habib.
Dari sisi domestik, keberadaan pengungsi juga sudah mulai menimbulkan konflik horizontal dengan masyarakat.
Komitmen Harus Diberikan
Dalam konteks ini lah, Indonesia dituntut untuk menunjukkan komitmen dalam pemberdayaan pengungsi. Pemberdayaan ini, kata Prof Tri Nuke Pudjiastuti dari Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencakup akses atas keterampilan “bekerja” pada sektor tertentu dan sementara.
Bekerja dalam hal ini berada dalam tanda kutip karena memang pengungsi tidak dimungkinkan untuk bekerja layaknya pemegang visa kerja. Proses ini dilakukan setidaknya untuk membuat pengungsi dapat berperan bagi masyarakat lokal di mana dia ditampung, sembari menunggu proses ditempatkan ke negara ketiga.
Kuncinya, adalah memperjelas posisi dokumen identitas yang dikeluarkan UNHCR.
“Tentu soal identitas, sebagai dokumen identitas satu pintu. Selain itu, parameter bekerja dan jenis pekerjaan, kemudian di sektor apa, itu harus dipastikan,” tegasnya.
Akses bekerja bersifat sementara dan terbatas hanya agar para pengungsi dapat mandiri. Untuk itu, perlu diberikan aturan terkait akses dan prosedur mereka, bagaimana dapat memanfaatkan balai-balai pelatihan yang ada. Karena itu lah, mekanisme keterlibatan para pihak terkait ini menjadi penting untuk ditentukan.
Pemerintah sebaiknya juga memberikan akses para pengungsi kepada lembaga keuangan.
“Salah satu yang kami bicarakan dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan -red) pada waktu itu, menunjukkan bahwa sebenarnya ada yang bisa digali, yang menjadi koridor, bagaimana mereka bisa mendapatkan akses terhadap lembaga keuangan. Tetapi memang harus diatur,” tambah Nuke sambil mengatakan bahwa problem alokasi anggaran bagi pengungsi juga harus diselesaikan.
Secara mendasar, Nuke menyatakan perubahan peraturan untuk mendukung keberadaan pengungsi di Indonesia mendesak dilakukan.
“Indonesia sudah mempunyai Perpres 125 Tahun 2016. Kalau kita melihat sejarah pembentukan Perpres, itu adalah kondisi darurat karena pada saat Andaman Sea Crisis. Nah sekarang kondisi sudah berubah. Perpres itu sudah tidak bisa dipakai sepenuhnya,” urai Nuke.
Your browser doesn’t support HTML5
Dasar hukum itu masih bisa dijadikan rujukan pada sisi prosedur penanganan. Namun, pemerintah harus mengubahnya pada sisi kesehatan, pendidikan, pemberdayaan dan penganggaran, khususnya definisi pemberdayaan. Termasuk juga pembentukan Satgas di tingkat lokal, melalui pemerintah daerah.
Peran lembaga swadaya masyarakat dalam penanganan pengungsi, juga harus diperhitungkan pemerintah. [ns/ah]