Presiden AS terpilih Joseph Biden akan memberi kekuatan bagi negara-negara Asia Tenggara yang berselisih dengan China yang jauh lebih kuat, terkait sengketa Laut China Selatan, dengan berpihak pada mereka tanpa mengundang konflik bersenjata, demikian yang diyakini para analis.
Mereka meninjau catatan pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, di mana Biden menjadi wakil presiden, untuk mendapatkan petunjuk mengenai apa yang mungkin dilakukan Biden di kawasan itu.
Obama mengupayakan apa yang disebut pemerintahnya sebagai “berporos ke Asia” sejak 2011 sewaktu kawasan ini menjadi lebih vital bagi kepentingan ekonomi AS. Ia berupaya meningkatkan perjanjian militer dengan lima sekutu di Asia-Pasifik, memajukan perjanjian perdagangan bebas Kemitraan Trans-Pasifik yang dibatalkan Trump pada tahun 2017, dan meluncurkan program untuk generasi muda yang dimaksudkan untuk membangun hubungan antar warga.
BACA JUGA: Perbedaan Kebijakan Luar Negeri Biden dan TrumpBerdasarkan catatan tersebut, para ilmuwan berpendapat Biden dapat diharapkan memberi lebih banyak penekanan pada diplomasi, daripada langkah-langkah militer yang disukai Presiden Donald Trump, yang mencakup pelayaran kapal-kapal angkatan laut melalui perairan sengketa dan penjualan senjata ke lawan-lawan China di kawasan tersebut.
Pendekatan Trump telah membuat resah beberapa pemimpin Asia Tenggara, yang menginginkan hubungan yang stabil dengan kedua negara adidaya itu. Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam bersaing dengan China dalam sengketa kedaulatan maritim, sementara bergantung pada negara tetangganya yang komunis itu dalam soal bantuan ekonomi.
BACA JUGA: Pendekatan Trump dan Biden ke AsiaNegara-negara tersebut melalui ASEAN, sekarang dapat mengharapkan seorang pemimpin AS yang akan mendukung mereka dalam menyusun suatu pedoman perilaku maritim dengan China, kata Alan Chong dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
China dan ASEAN telah berusaha keras menyusun pedoman yang dimaksudkan untuk mencegah konflik tak diinginkan, sejak 2002. China telah bertahun-tahun menghentikan upayanya sebelum menghidupkan kembali gagasan itu pada tahun 2017.
Para pejabat AS “tidak perlu terlibat langsung dan memicu sensitivitas China,” jelas Chong. “Mereka hanya perlu diam-diam mendukung ASEAN dalam merundingkan pedoman perilaku. Tentu saja, rencana ASEAN akan selalu disesuaikan dengan Washington,” lanjutnya.
BACA JUGA: Pasca Trump, ASEAN Inginkan Sekutu yang Bisa DiandalkanWashington menganggap banyak negara Asia Tenggara sebagai sekutu yang dapat membantu membendung China, jika diperlukan. China mengutip catatan historisnya sehubungan dengan klaim terhadap sekitar 90 persen perairan yang disengketakan. Negara-negara lain menyatakan klaim China tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif mereka.
Para pemimpin di berbagai penjuru Asia Tenggara “pada dasarnya menyambut baik siapapun” selama kekuatan lainnya menghindari konflik,” kata Huang Kwei-bo, wakil dekan Fakultas Hubungan Internasional di National Chengchi University di Taipei.
Selama dekade lalu, China telah membuat berang Vietnam dengan mengirim kapal-kapal survei dan anjungan minyak ke perairannya, membuat hubungannya dengan Malaysia dingin karena aktivitas garda pantainya dan membuat marah Filipina karena mengambil alih kawasan sengketa yang kaya ikan. China memiliki angkatan bersenjata terkuat di Asia.
BACA JUGA: Menata Ulang Amerika, “PR” Besar Joe BidenPM Malaysia Muhyiddin Yassin dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengeluarkan pernyataan publik berisi ucapan selamat kepada Biden pada hari Minggu lalu, disusul oleh Sultan Brunei Hassanal Bolkiah keesokan harinya.
Duterte, meskipun menjalin persahabatan dengan Beijing sejak 2016, mengatakan melalui media di Filipina bahwa ia berharap ada perbaikan hubungan dengan AS di bawah Biden yang didasarkan pada “komitmen bersama bagi demokrasi, kebebasan dan supremasi hukum.” Kata-kata itu kerap digunakan untuk menggambarkan kontras dengan pemerintahan otoriter China.
Biden belum berbicara dengan salah satu pemimpin China atau Asia Tenggara sejak akhir pekan lalu, sewaktu ia dan pasangannya, wakil presiden terpilih Senator Kamala Harris, diproyeksikan menang dalam pemilihan presiden 3 November dari Trump dan pasangannya, wakil presiden Mike Pence. [uh/ab]