Menghapus Budaya Kekerasan di Perguruan Tinggi

  • Nurhadi Sucahyo

Polisi menahan dua aktivis senior Mapala UII terduga pelaku kekerasan. (Foto courtesy: Polres Karanganyar).

Tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia meninggal dalam sebuah kegiatan kemahasiswaan minggu lalu. Ada anggapan, tragedi ini dampak dari budaya kekerasan yang sulit dihapuskan di dunia pendidikan.

Sudah seminggu sejak kematian Ilham Nur Padmy Listiadi, kekecewaan masih menghinggapi ayahnya, Safii. Ilham, 19 tahun, adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta yang meninggal 23 Januari lalu. Dia menjadi korban kekerasan para seniornya dalam kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar), Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) di Universitas tersebut.

Kematian ini sekaligus memupus harapan Safii yang dia semai ketika mengirim Ilham, dari kampungnya di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat ke Yogyakarta untuk belajar.

“Di dunia pendidikan itu kan seharusnya tidak ada kekerasan. Namanya saja pendidikan. Kaitannya dengan kasus Mapala ini, harapan kita memang semua pelaku dan panitia bisa diusut tuntas. Dan semoga tidak ada kekerasan lagi di dunia pendidikan, karena satu muncul kemudian muncul lagi yang lain. Mudah-mudahan ini yang terakhir. Saya juga berharap, para pejabat yang berwenang terus berkampanye anti kekerasan,” harap Safii.

Tidak mau peristiwa berulang kepada mahasiswa lain di Indonesia, Safii berpendapat kekerasan harus dimasukkan dalam pola akreditasi perguruan tinggi. Pada kampus-kampus dimana aksi kekerasan masih terjadi, pemerintah harus memberikan catatan keras.

Hari Senin, 30 Januari, polisi menetapkan dua orang senior Ilham di Mapala UII, yaitu M Wahyudi alias Yudi (25) dan Angga Septiawan alias Waluyo (27) sebagai tersangka aksi kekerasan. Dari Yogyakarta, hari Senin pagi keduanya dibawa ke Polres Karanganyar, Jawa Tengah, karena tempat kejadian perkara ada di Lereng Gunung Lawu. Sebanyak 16 orang pengurus Mapala dan panitia Diklatsar akan diperiksa hari Selasa.

Sementara di Yogyakarta, belasan perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo), menggelar aksi di depan sekretariat Mapala UII. Mereka menyerahkan surat, yang intinya menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi. Baharuddin Kamba, juru bicara dalam aksi ini kepada VOA menyerukan agar aktivis Mapala lebih peduli pada Hak Asasi Manusia. Selain itu, energi besar Mapala semestinya dicurahkan untuk melawan para perusak alam dan lingkungan bukan untuk menyakiti para yunior mereka.

“DI manapun, apalagi di dunia pendidikan, di kampus, itu aksi kekerasan tidak bisa dibenarkan, itu yang pertama. Kedua, kita menolak segala bentuk aksi kekerasan. Yang penting adalah proses hukum dalam kasus ini sedang berjalan, kita akan terus kawal kasus ini sampai tuntas,” ujar Baharuddin.

Di Jakarta, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul menjelaskan, mengatakan sejauh ini polisi sudah memeriksa 21 orang. Bukan tidak mungkin, jumlah tersangka akan bertambah sesuai hasil pemeriksaan 16 orang pada Selasa. "Barang bukti yang ditemukan yaitu itu tali perusik atau tali gunung yang dipakai buat mencambuk, kemudian batang kayu pohon, yang buat memukul," kata Martinus kepada media.

Menyusul kejadian ini, Rektor UII, Dr Harsoyo telah mengumumkan pengunduran diri pada Kamis (26/1) pekan lalu. Pengunduran ini ditolak oleh mahasiswa universitas tersebut, tetapi pada hari Minggu dalam pertemuan seluruh warga kampus, Harsoyo menyatakan keputusannya tidak akan dicabut.

“Saat sudah jatuh korban meninggal ketiga, saya istijab. Saya istighfar. Mungkin ini kesalahan rektor yang tidak peka dengan hal-hal yang ada. Hal ini saya lakukan demi UII, sehingga tidak perlu lagi membuat petisi apapun untuk membela saya jadi rektor. Saya berterimakasih karena begitu banyak yang peduli pada saya, namun mohon hal tersebut dicukupkan sampai di sini,” papar Harsoyo.

Your browser doesn’t support HTML5

Menghapus Budaya Kekerasan di Perguruan Tinggi


Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Yogyakarta, Profesor Wuryadi menyebut, praktik kekerasan di dunia pendidikan sudah terjadi sejak tahun 50-an. Wuryadi menceritakan bagaimana dia sendiri menjadi korban praktik semacam itu ketika menjadi mahasiswa baru tahun 1958. Menurutnya, kesalahan mendasar dari praktik kekerasan di lingkungan pendidikan ini adalah kepercayaan bahwa kedisiplinan bisa ditumbuhkan dengan cara kekerasan.

“Budaya kekerasan itu mungkin dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi. Jadi, supaya orang disiplin itu harus dikerasi. Keliru itu. Itu bukan budaya kita. Kadang-kadang kalangan militer memang menggunakan pola kekerasan semacam itu, tetapi mereka mempunyai ukuran. Kekerasan di militer itu ada ukurannya. Tetapi kadang kalangan mahasiswa maupun siswa itu justru lupa akan ukuran itu,” kata Wuryadi.

Selanjutnya, Wuryadi juga mengkritisi tindakan mahasiswa senior yang cenderung tidak menghargai mahasiswa yunior. Perubahan mendasar perlu diterapkan, bahkan perlu aturan setingkat menteri untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan. Tidak hanya di UII, tetapi juga di berbagai perguruan tinggi lain, bahkan hingga di tingkat pendidikan lebih rendah.

“Superioritas senior itu sudah ada sejak dulu, seolah-olah senior itu segalanya dan yunior tidak punya arti apa-apa. Itu salah sama sekali. Saya menyambut baik mundurnya rektor, tetapi rektor selanjutnya harus berani melakukan tindakan untuk menghapus kemungkinan kekerasan di kalangan mahasiswa,” tambahnya.

Kekerasan yang memakan korban kerap terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Yang paling terkenal adalah kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri milik Kementerian Dalam Negeri. Mantan dosen IPDN, Inu Kencana Syafie membuat penelitian yang mencatat kurang lebih 35 mahasiswa meninggal dalam kurun waktu 1990 – 2007. Kampus lain adalah Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta milik Kementerian Perhubungan. Dalam 8 tahun terakhir, setidaknya 4 mahasiswa tewas karena aksi kekerasan para senior mereka. [ns/em]