Isu terkait penggunaan merkuri memperoleh perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir. Isu tersebut semakin menyeruak sejak Indonesia memegang presidensi G20 pada Desember lalu, di mana kini pemerintah dituntut untuk mengambil kebijakan untuk mengurangi penggunaan bahan kimia tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) misalnya telah melakukan penelitian untuk mendorong penambang emas kecil meninggalkan merkuri. Tambang emas rakyat di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi contoh penerapan pengurangan bahan merkuri pada praktik tersebut.
Dadan Moh Nurjaman, Kepala Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN, menyebutkan selain soal teknologi dan uji coba, pelatihan juga menjadi faktor kunci keberhasilan dalam upaya mengurangi penggunaan merkuri pada penambang-penambang kecil.
“Ini bagian yang sangat penting juga, karena tentu masyarakat pertambangan emas skala kecil yang biasa menggunakan merkuri, ketika beralih itu harus dengan pemahaman yang tepat, supaya bisa dijalankan dengan tepat,” kata Dadan dalam diskusi Menuju Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) Bebas Merkuri, pada Selasa (8/2).
Percontohan di Yogyakarta
Fasilitas penelitian BRIN, yang kemudian dihibahkan kepada masyarakat setempat ini berada di Desa Kalirejo, Kulonprogo. Sejak lama, kawasan tersebut memang dikenal sebagai area pertambangan emas skala kecil yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Fasilitas tersebut kini juga menjadi lokasi pelatihan bagi penambang emas skala kecil dari berbagai wilayah di Indonesia yang lain, agar mereka dapat terlepas dari penggunaan merkuri dalam menjalankan usahanya.
Dadan menjelaskan bahwa sianida dapat digunakan sebagai pengganti merkuri, namun bahan kimia ini juga bukan satu-satunya bahan yang sedang diteliti untuk dapat digunakan pada aktivitas penambangan emas.
“Sianidasi bukan satu satunya teknologi yang diusulkan oleh BRIN. Kita juga sudah mengintroduksi teknologi pemisahan secara gravitasi yang sudah dibangun di Kuantan Senggigi,” ucapnya, seraya merujuk pada kabupaten di Provinsi Riau tersebut.
Sianida, meski dikenal beracun, telah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke alam. Dadan memastikan keamanan dari sisa limbah pengolahan emas yang menggunakan sianida.
BACA JUGA: KLHK: Pencemaran Merkuri Bisa Racuni Sumber Pangan“Kemudahannya adalah mudah didestruksi, dalam empat jam sebelum dilepas ke lingkungan dan tidak beracun. Berbeda dengan merkuri yang jika terbuang ke perairan akan membahayakan,” ujar Dadan.
Satu hal yang menggembirakan, sianida memberikan hasil yang baik dibandingkan merkuri, yang tingkat recovery-nya, kata Dadan, berada di bawah 50 persen. Ia memberi contoh, jika dalam satu ton bahan terdapat 20 parts-per-million (ppm) emas, dengan merkuri hanya akan diperoleh sekitar 10 gram emas. Sedangkan penggunaan sianida, setidaknya akan menghasilkan 18 gram emas.
Ia melanjutkan diperlukan investasi di awal yang cukup besar untuk beralih menggunakan sianida sepenuhnya dalam pertambangan emas skala kecil.
Sulit Tetapi Penting
Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) Kmeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mengatakan salah satu penyebab susahnya penghapusan penggunaan merkuri di antara para penambang skala kecil adalah banyak dari mereka yang beroperasi di daerah terpencil.
“Mereka mengeksploitasi cadangan emas marjinal yang terletak di daerah terpencil, aksesnya sulit dijangkau. Seperti di hutan lindung, juga di kawasan konservasi. Parahnya, PESK ini sebagian besar berlangsung secara ilegal. Kalau dia ilegal, berarti pengawasannya tidak dilakukan,” ujar Rosa.
Karena tidak memiliki izin, tambah Rosa, teknologi yang digunakan di PESK sangat sederhana sehingga menurunkan kualitas lingkungan.
“Dari pembukaan lahan untuk penambangannya, sampai bagaimana membuang tailing-nya dari sisa pengolahan emasnya, yang kemudian dibuang begitu saja. Padahal ketika melakukan pengolahan emas, menggunakan bahan kimia termasuk merkuri, itu bisa mencemari sungai, tanah, sawah, dan sebagainya,” tambah Rosa yang juga merupakan Presiden COP-4 Konvensi Minamata.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga berperan dalam upaya menghapus penggunaan merkuri di usaha tambang, khususnya skala kecil. Ridwan Djamaluddin, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut upaya yang dapat dilakukan oleh pihaknya antara lain mengawasi dari sisi regulasi.
“ESDM dan DPR membuat undang-undang 3/2020 sebagai perubahan undang-undang 4/2009. Kita mencoba memberikan peluang yang lebih kepada IPR agar nanti menjadi menarik. Dari PETI yang tadinya tidak berizin, bisa lebih masuk ke dalam, ada migrasi dari PETI ke IPR,” kata Ridwan.
IPR yang disebut Ridwan adalah Izin Pertambangan Rakyat, sedangkan PETI adalah Pertambangan Tanpa Izin. IPR adalah pertambangan oleh rakyat yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Sebagai konsekuensi kepemilikan izin itu, pemegang IPR berkewajiban mengelola lingkungan dan keselamatan. Selain itu, IPR juga membayar iuran pertambangan rakyat. Di sisi lain, tentu saja IPR tidak akan diklasifikasikan sebagai usaha liar yang melanggar hukum.
Your browser doesn’t support HTML5
Sejauh ini, kata Ridwan, Kementerian ESDM telah mendata terdapat 20 IPR untuk komoditas mineral logam, tiga IPR bukan logam dan untuk komoditas batuan ada 78 IPR. Namun, jumlah pertambangan liar jauh lebih banyak.
“Hasil identifikasi dan inventarisasi dari stakeholder terkait, PETI itu ada di 2.741 titik. Dimana 98 titik lokasi PETI komoditas batu bara dan 2.645 titik lokasi PETI komoditas mineral,” ujar Ridwan. [ns/rs]