Seperti juga negara lain, Indonesia mempertimbangkan banyak faktor untuk masuk ke era kelaziman baru atau new normal. Terkait pembukaan kembali pintu perbatasan, misalnya, kelaziman baru ditandai dengan skema perjalanan baru yang kini diperbincangkan dengan berbagai negara.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memaparkan kebijakan itu dalam UGM Talks: "Mempersiapkan Normal Baru, Pengalaman Negara lain". Diskusi daring ini diselenggarakan UGM dan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama), Minggu 14 Juni 2020 sore.
“Beberapa negara sekarang mulai membahas apa yang dinamakan business travel bubble atau essential business travel bubble yang masih mengesampingkan turis secara umum. Karena hampir semua negara sudah melihat saatnya roda ekonomi mulai digerakkan kembali sehingga downturn ekonomi tidak terus terjun bebas,” kata Retno Marsudi.
Beberapa yang sudah membahas itu, menurut Retno adalah tiga negara Baltik yaitu Estonia, Lithuania dan Latvia. Selandia Baru dan Australia juga sudah membentuk bubble sendiri. Begitu pula dengan Korea Selatan dan 10 wilayah di China. Indonesia, kata Retno sedang mendiskusikan bubble serupa dengan sejumlah negara tetangga dan pembicaraannya sedang dalam proses.
Retno menambahkan, pemerintah belajar dari pengalaman banyak negara terkait penanganan virus corona. Selandia Baru yang dalam empat pekan terakhir tidak mencatatkan kasus baru, menjadi contoh sukses. Pengalaman Amerika Serikat, dengan penolakan warga untuk berdiam di rumah, pembukaan bisnis, dan lonjakan kasus juga turut diperhitungkan. Retno menjamin, pemerintah berhati-hati melangkah, dengan pedoman bahwa bisnis harus berjalan dengan protokol aman Covid-19.
BACA JUGA: Sudah 1.970 ABK WNI Berhasil Dipulangkan dari Jerman ke IndonesiaMenlu juga memaparkan, sejauh ini perbatasan dibuka dengan berbagai keterbatasan. Salah satunya adalah bagi WNI yang bekerja di luar negeri. Sepanjang pandemi, tercatat 82 ribu WNI kembali dari Malaysia karena habis masa kontrak kerja. Sedangkan dari kelompok Anak Buah Kapal (ABK) jumlahnya mencapai 21 ribu. Di luar dua kelompok besar itu, ada 8 ribu WNI kembali dari berbagai negara sehingga total yang masuk selama pandemi adalah 111 ribu orang.
Lockdown di Eropa
Eropa menjadi salah satu pusat pandemi virus corona. Sebagian negara di benua itu menerapkan kebijakan lockdown sejak awal. TBH Witjaksono Adji, Wakil Duta Besar di KBRI Wina, Austria menyebut, kebijakan ini berbuah cukup baik.
“Negara-negara yang cukup sukses di Eropa ini rata-rata hanya butuh dua bulan agar kurvanya menjadi datar, melalui kebijakan lockdown,” kata Adji.
Austria mencatatkan kasus pertama pada 25 Februari, mencapai puncak kasus pada 27 Maret dan mulai mendatar kurva kasusnya sejak 26 April 2020. Ada 17.001 kasus, 677 kematian dan 312 kasus aktif tersisa sampai saat ini. Kebijakan pelonggaran telah diterapkan di sektor ekonomi, angkutan umum, rumah ibadah, ajang pameran, hingga sekolah. Protokol ketat diberlakukan dan cenderung ditaati warga, dengan ancaman denda tinggi bagi pelanggar. Insentif ekonomi juga diberlakukan dengan menganggarkan sembilan persen PDB.
Beberapa hal yang bisa dipelajari dari Austria menurut Adji adalah kebersamaan warga dan pemerintah sebagai satu tim. Menjadikan kesehatan sebagai perhatian utama, tetapi membuka kesempatan ekonomi untuk tetap berjalan. Selain itu, pemerintah menerapkan lebih sedikit aturan dengan tanggung jawab lebih besar bagi masyarakat.
Totalitas Vietnam
Vietnam, barangkali ada contoh paling dekat bagi Indonesia dalam perang melawan virus corona. Hariyanta Soetarto dari KBRI Hanoi, Vietnam berbagi cerita bagaimana negara itu menggelar strategi. Dia mengatakan, Vietnam seribu tahun di bawah penjajahan China dan memiliki perbatasan darat. Ketika kasus mulia muncul di Wuhan, mereka langsung siaga.
“Karena musuh ada depan halaman, sehingga gerakan mereka sangat cepat. Aspek geografi dan sejarah bangsa Vietnam sendiri, demografi dan mobilitas berpengaruh, karena Vietnam dan China memiliki perbatasan darat,” kata Hariyanta.
Vietnam juga memiliki kepemimpinan yang kuat, mobilisasi seluruh aparat negara, kepatuhan masyarakat, penegakan hukum dan mampu mengamankan sektor pangan. Negara itu mampu menyusun persiapan panjang melawan pandemi, sekaligus mengembangkan pengetahuan. Vietnam kuat dalam deteksi penularan dengan lab yang canggih. Produk test kit mereka bahkan memperoleh sertifikasi Eropa.
Di bidang ekonomi, Vietnam kini memperkuat pasar domestik dan menjaga daya beli masyarakat dengan paket bantuan ekonomi. Dilakukan perubahan besar di sektor pariwisata dan ekspor. Menurut Hariyanta, belajar dari Vietnam, Indonesia harus melakukan penguatan di sektor yang masih lemah dan keberlanjutan untuk bidang-bidang yang sudah baik. Mobilisasi sumber daya juga harus dikuatkan, termasuk membangun kerja sama lebih kuat di tingkat masyarakat.
Potensi Ekonomi AS
Theodorus Satrio Nugroho dari KBRI Washington DC, Amerika Serikat, juga berbicara dalam diskusi daring ini, untuk membahas sekilas apa yang terjadi di sana. Mengutip salah satu jurnal kesehatan yang terbit pada 2019, Satrio mengatakan AS ketika itu dinilai sebagai negara paling siap menghadapi pandemi. Namun kenyataannya, sampai saat ini pemerintahan Trump kedodoran mengatasinya.
BACA JUGA: Gedung Putih: Ekonomi AS dalam 'Tahap Pemulihan'Menurut Satrio, setidaknya terdapat dua sebab. Pertama adalah faktor politik, di mana AS akan menghadapi Pemilu pada November tahun ini. Baik Partai Republik dan Demokrat, cenderung ingin berbagai pembatasan dikurangi agar ekonomi bergerak. Diharapkan dengan demikian, kontestasi politik dapat berjalan optimal. Faktor kedua adalah karena sebenarnya warga AS sendiri sudah biasa menghadapi pandemi virus flu setiap tahun, yang cenderung menurunkan kewaspadaan mereka.
Your browser doesn’t support HTML5
Karena dampak ekonomi yang besar bagi AS, Indonesia bisa memanfaatkan sejumlah kesempatan di balik pandemi ini. Salah satunya adalah kerja sama di bidang kesehatan dengan AS.
“Meski kelihatan kedodoran, dia punya lembaga yang cukup baik terutama dalam penelitian virus dan obat,” kata Satrio.
Indonesia juga berpotensi menggantikan produk-produk yang selama ini diimpor AS dari China. Investasi juga bisa ditarik melalui Indopasifik, yang dikembangkan AS menyikapi pengaruh China di kawasan ini. Ke depan, kata Satrio, jika hubungan AS dan China terus memburuk, Indonesia bisa menerapkan pola politik internasional yang dinamis, independen dan aktif. [ns/ab]