Mesir dan Israel pada Sabtu (14/10) dilaporkan setuju untuk membuka pintu perlintasan Rafah antara Gaza dan wilayah Mesir, untuk memberi peluang warga negara Amerika Serikat yang terjebak di wilayah yang dikuasai Hamas meninggalkan kawasan itu.
Namun tidak ada kesepakatan bagi penduduk Gaza lainnya untuk masuk ke Mesir, seiring upaya Israel melakukan operasi militernya di seluruh kawasan itu.
BACA JUGA: Menlu AS: Negara-negara Arab Tak Inginkan Imbas Israel-HamasMesir terus menyatakan penentangan terhadap kemungkinan pemukiman kembali warga Palestina dari Gaza di wilayah mereka, di tengah kekhawatiran bahwa warga sipil dari Palestina akan dipaksa melintasi perbatasan, setelah meninggalkan Jalur Gaza.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi pada Kamis (12/10) bersikeras bahwa penduduk Palestina harus menolak upaya untuk memaksa mereka meninggalkan Gaza.
“Perjuangan Palestina adalah pangkal dari semua perjuangan, dan semua perjuangan yang dihormati bangsa Arab, dan penting bagi penduduk Palestina untuk tetap teguh dan tinggal di tanah mereka sendiri," ujar El-Sisi.
Awal pekan ini, komandan militer Israel Kolonel Richard Hecht mendesak warga Palestina di Gaza untuk "keluar dari Gaza" dan menuju ke Mesir. Kementerian Pertahanan Israel kemudian mengeluarkan pernyataan yang mengatakan "tidak ada seruan resmi" dari Israel agar warga Gaza masuk ke Mesir.
Anggota parlemen Mesir Mustafa Bakri mengatakan kepada TV Al Arabiya milik Arab Saudi pada Sabtu (14/10), Mesir telah memperingatkan Israel dan pihak internasional lainnya, bahwa mereka akan melawan segala upaya untuk memukimkan warga Palestina di Sinai.
Dia mengklaim bahwa ada rencana sejak beberapa dekade lalu untuk memukimkan warga Palestina di Sinai dan menggunakan wilayah Mesir sebagai bagian dari negara Palestina.
BACA JUGA: WHO Membutuhkan Koridor untuk Sediakan Layanan Medis ke GazaKhattar Abou Diab, pengajar ilmu politik di Universitas Paris, mengatakan kepada VOA bahwa mantan presiden Mesir Hosni Mubarak yang membuat klaim bahwa Israel memiliki rencana untuk memukimkan warga Palestina di Sinai dengan imbalan menghapus sebagian utang negara tersebut, yang sekarang diperkirakan berjumlah sekitar 170 miliar dollar AS.
Said Sadek, yang mengajar studi perdamaian di Universitas Mesir-Jepang, mencatat bahwa Mesir tidak ingin ada banyak warga Palestina di Sinai, karena bisa menimbulkan ketidakstabilan di kawasan pusat wisata utama itu, jika mereka melancarkan serangan ke Israel dari wilayah Mesir.
Sadek juga mencatat bahwa kehadiran warga Palestina dalam jumlah besar di Mesir, dapat menyebabkan kekacauan di antara warga negara itu sendiri, yang terpecah antara mendukung perdamaian dengan Israel dan kelompok yang ingin berperang dengan negara Yahudi itu.
Media Mesir melaporkan serangan militer Israel secara berkala di dekat perbatasan antara Mesir dan Gaza dalam beberapa hari terakhir, ketika perlintasan dihentikan melalui pintu perbatasan di Rafah. Mesir mendesak negara-negara yang ingin mengirimkan pasokan bantuan ke Gaza, untuk mengirimkannya ke bandara di dekat El Arish, sehingga bantuan dapat dikirim ke perbatasan dengan truk saat pintu perbatasan dibuka kembali.
Warga Palestina telah merusak sebagian pagar perbatasan antara Mesir dan Gaza selama serangan operasi militer Israel di Gaza pada 2008 ketika mana ratusan warga Palestina masuk ke Sinai di Mesir bagian utara. Pelanggaran perbatasan itu menimbulkan kekhawatiran yang berkepanjangan di Mesir, bahwa warga Palestina di Gaza akan berusaha tetap bertahan di wilayah Mesir.
Sejumlah pemimpin negara-negara Arab mendesak penduduk Palestina di Gaza untuk tidak meninggalkan wilayah tersebut. Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh, yang berbasis di Ramallah, dalam konferensi pers pada Jumat (13/10) mengatakan kepada warga Gaza, yang dikuasai oleh Hamas agar tidak meninggalkan wilayah tersebut.
“Rakyat Palestina tidak akan meninggalkan tanah mereka. Itu adalah rencana Israel memaksa mereka semua keluar dari Gaza.”
Your browser doesn’t support HTML5
Dia menyatakan bahwa Israel telah berusaha memaksa warga Palestina mengungsi ke negara lain sejak 1950.
Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi juga menegaskan saat konferensi pers pada Sabtu (14/10) di Amman, bahwa negaranya tidak akan mengizinkan warga Palestina meninggalkan tanah air mereka.
“Raja Abdullah II telah menyatakan bahwa tindakan yang memaksa warga Palestina meninggalkan tanah airnya adalah "garis merah" yang tidak bisa diterima,”
Safadi juga memperingatkan bahwa keamanan dan stabilitas seluruh kawasan sedang terancam oleh apa yang terjadi di Gaza. [ns/lt]