Polrestabes Surabaya mendatangkan mantan teoris Mohammad Nasir Abbas, dalam sebuah diskusi di Surabaya, bertema Mewaspadai Gerakan Kelompok Teroris Guna Menciptakan Situasi Kamtibmas Pilpres dan Pileg yang Aman, Damai, dan Sejuk. Dalam diskusi yang dihadiri puluhan tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi kemasyarakatan, Nasir Abbas mengingatkan bahaya dan ancaman terorisme yang dapat menyasar siapa saja.
Nasir Abbas bahkan menyebut bahwa pelaku terorisme saat ini tidak memerlukan orang yang merekrut, karena mereka dapat dengan sendirinya terrekrut setelah membaca buku atau tulisan para tokoh terorisme. Benih kebencian yang berhasil ditumbuhkan merupakan awal seseorang terrekrut dengan sendirinya untuk melakukan aksi terorisme.
“Orang bisa terrekrut dengan mudah ketika diberikan rasa kebencian, awalnya saya seperti itu, diberikan rasa kebencian. Maka sangat mudah saat ini, zaman ini menjadi self recruited, terrekrut sendiri, yang di Sibolga mereka tidak pernah ketemu sama Amman Abdurrahman, tetapi bahan bacaan tulisan Amman Abdurrahman itu mereka pakai. Bagaimana belajar bomnya, dari internet, tetapi dipermahir dengan komunikasi, chating, diarahkan oleh orang-orang yang pernah di Syria, lewat media sosial. Ujung dunia di Syria bisa mengajarkan dalam negeri di Indonesia, bukan suatu hal yang mustahil sekarang,” ujar Nasir Abbas.
Your browser doesn’t support HTML5
Kuatnya pengaruh suatu ajaran atau paham radikalisme, dapat mempengaruhi orang untuk menjadi pelaku terorisme. Seperti paham Takfiri yang disebarkan teroris pendukung ISIS, Aman Abdurrahman beberapa tahun terakhir.
Nasir Abbas membandingkan dirinya yang dulu direkrut menjadi mujahid atau membantu mujahidin berjuang di Afganistan untuk berjihad, dengan pola perekrutan pelaku teroris menurut paham Amman Abdurrahman. Aksi teroris saat ini tidak lagi dilakukan berkelompok dengan bom berdaya ledak tinggi, melainkan lebih pada aksi individu dengan berbagai senjata yang dimiliki.
“Termasuk yang terjadi di Surabaya, yang tahun lalu, kemudian yang terjadi baru-baru ini di Sibolga, itu semuanyalah yang berpaham Amman Abdurrahman, mereka membaca artikelnya Amman Abdurrahman, mereka meyakini bahwa ini sudah saatnya kita harus berjihad, ini sudah saatnya kita harus melakukan sesuatu, dan bahkan Amman Adburrahman mengatakan jihad itu tidak mesti harus berjamaah, jihad itu harus dibuktikan imannya, bagaimana membuktikan imannya, kalau kita membuktikan iman ya dengan banyak shalat, banyak ibadah dan lain-lain, tetapi Amman Abdurrahman mengatakan kita harus buktikan iman dengan melakukan sesuatu kepada orang kafir, terutama kepada polisi. Kalau tidak punya bahan peledak gunakan senjata api, kalau tidak punya senjata api gunakan senjata tajam, kalau tidak punya senjata tajam ambil satu batu timpukkan ke polisi, itu juga bagian dari jihad,” papar Nasir Abbas.
Pada masa lalu, keterlibatan pelaku teroris dari luar Indonesia untuk melakukan aksi teror di dalam negeri didukung oleh sel-sel teroris di Indonesia, yang menghendaki berdirinya negara Islam menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nasir Abbas mengatakan, aksi pelaku bom bunuh diri di Surabaya hingga di Sibolga, menunjukkan perkembangan model aksi teror yang dilakukan secara sporadis dan mandiri, dengan melibatkan perempuan dan anak sebagai pelaku bom bunuh diri.
“Dita cs, 3 keluarga, istrinya siap meledakkan diri karena ada suami. Tetapi ditawarkan bagi wanita-wanita lajang yang ingin berpartisipasi menjadi mujahidah, meledakkan dirinya berjihad, maka harus menikah dulu supaya nanti suaminya yang menggiring, membawa ke tempat, lokasi, kemudian suaminya pergi, tinggallah dia meledakkan diri. Itu operasinya, dan itu terjadi yang namanya Dian, dulunya TKI kemudian ingin meledakkan Istana Merdeka, Jakarta, tertangkap sebelumnya, nah yang di Klaten juga seperti itu. Jadi si Abu Hamzah, suaminya wanita yang meledakkan dirinya di rumah Sibolga, itu sudah punya 2 calon istri, dan 2 calon istri ini siap untuk dipoligami dengan syarat mahar, maharnya apa, seperangkat rompi bom,” urai Nasir Abbas.
Pengamat radikalisme dan aktivis anti hoaks, Abdul Rasyid Rustanto mengatakan, aktivitas terorisme di Indonesia banyak yang merupakan sel tidur yang siap bangun kapan saja, sehingga perlu diwaspadai bersama. Selain melakukan aksi teror, sel teroris sering melakukan penyebaran kabar bohong atau hoaks, untuk memecah belah masyarakat satu sama lain.
“Mereka sel tidur, yaitu tetap diwaspadai tetapi mereka hanya bisa sementara ini menyebarkan hoaks saja. Ancamannya itu biasanya dipublikasi medsos dan lain sebagainya, itu di situ,” ujar Abdul Rosyid.
Nasir Abbas mengajak masyarakat Indonesia bersama-sama memerangi terorisme, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbhinneka tinggal ika.
“Negara tercinta kita ini sudah merdeka sekian tahun, kita dengan beragam bangsa, suku dan agama tapi bisa bersama, ini harus kita jaga, jangan sampai orang-orang ini, dulu saya percaya untuk menegakkan negara Islam, tetapi kemudian saya pelajari sendiri, ternyata ada tempatnya, dan ada keadaannya,” jelas Nasir Abbas.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, Kombes Pol. Rudi Setiawan mengatakan, pihaknya mengajak semua elemen masyarakat untuk peduli dari ancaman terorisme dengan membangun kesadaran bersama. Selain itu, Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menyiagakan lebih dari 2.300 personil gabungan, untuk memastikan keamanan Kota Surabaya dari gangguan keamanan saat Pemilu berlangsung.
“Terorisme ini kan kita juga tidak mau membesar-besarkan juga, nanti hal yang kecil dijadikan besar, tapi kita terus bekerja. Ya perlu kita sama-sama ya mengatasinya. Ya cukup banyak (personil), kalau kita sampai 2.300-an (personil pengamanan),” ujar Rudi. [pr/as]