Suatu malam pada bulan Februari, sekelompok tentara pemerintah junta Myanmar, menahan Jan Mohammad (bukan nama sebenarnya) dari Kotamadya Maungdaw di Myanmar. Ketika mereka membawa pria Rohingya berusia 24 tahun itu ke kompleks militer terdekat, ia tahu bahwa ia dipaksa menjalani wajib militer oleh Angkatan Darat Myanmar.
"Tentara junta Myanmar itu tidak banyak bicara. Mereka hanya berkata, 'Ikut kami.' Mereka menodongkan pistol langsung ke saya. Saya ketakutan ketika melihat pistol ke arah saya," kata Jan Mohammad yang diwawancarai kelompok hak asasi manusia Fortify Rights, setelah dia melarikan diri dari kamp pelatihan militer junta.
Ia berbicara dari Bangladesh setelah melarikan diri 10 hari setelah pelatihan militer paksa itu dimulai, menurut laporan yang belum diterbitkan kelompok hak asasi manusia dan dibagikan secara eksklusif kepada VOA.
“[Selama pelatihan militer], kami harus belajar bagaimana merangkak dengan siku dan memegang senjata dalam barisan,'' kata Jan. ''Itu adalah bagian dari pelatihan militer. Saya tidak ingin menjadi tentara. Militer Myanmar menganiaya kami. Mengapa saya harus mendukung mereka secara tiba-tiba?”
BACA JUGA: Kelompok Etnis Bersenjata Myanmar Tangkap Ratusan Personel JuntaJan Mohammad bukan satu-satunya orang Rohingya yang diculik dan dipaksa berperang di luar keinginannya. Sejak bulan Februari, setidaknya 1.500 pria dan anak laki-laki Rohingya telah direkrut secara paksa oleh militer Myanmar dari desa-desa di negara bagian Rakhine di Myanmar dan kamp pengungsi di Bangladesh, menurut kelompok hak asasi manusia dan sumber-sumber Rohingya.
Selain itu, kelompok pemberontak Arakan Army [AA], yang memerangi militer di Myanmar, secara paksa merekrut pria dan anak laki-laki
Rohingya, dan kedua belah pihak yang berperang menggunakan para pemuda tersebut sebagai tameng manusia di medan perang, menurut laporan kelompok hak asasi manusia dan sumber-sumber Rohingya. [ps/jm]