Ketika Ita F. Nadia pada 1998 bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, dia berharap perkosaan Mei 1998 akan berbuah keadilan. Timnya berperan besar menyampaikan laporan awal fakta-fakta kerusuhan yang digunakan tim gabungan bentukan pemerintah.
Namun, dua dekade berselang, dia menyatakan masih banyak orang yang menyangkal kebenaran peristiwa tersebut. Di sisi lain, orang pun enggan membicarakannya. "Ada satu situasi yang orang 'ah udah lah lupain saja'. Ini hasil wawancara saya dengan beberapa orang muda. 'ah itu peristiwa yang menyakitkan, udah itu dilupakan saja'. dan peristiwa untuk melupakan ini bagian dari proses impunitas,” ujar Ita dalam sebuah diskusi mengenai perkosaan Mei 1998, Sabtu (16/5) malam.
Temuan TGPF Kerusuhan Mei 1998 menyatakan terdapat kekerasan seksual terhadap perempuan di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya. Tim ini berhasil memverifikasi 52 orang jadi korban perkosaan, 14 orang jadi korban perkosaan dan penganiayaan, 10 orang jadi korban penyerangan seksual, dan 9 orang jadi korban pelecehan seksual.
Sampai saat ini, Kejaksaan Agung belum juga membawa berkas tersebut ke meja hijau.
BACA JUGA: Kisah Anastasia dan Benny Berdamai dengan Trauma Mei 1998Ita mengatakan, seorang korban, Martadinata Haryono, sempat akan bersaksi di Kongres AS dan membawa kasus itu ke level internasional. Namun jelang keberangkatannya pada Oktober 1998, Martadinata tewas dibunuh. Sampai saat ini kasusnya belum selesai.
“Itu satu simbol dari penguasa untuk menunjukkan kamu (korban) harus diam. Kalau kamu bicara, kalau bicara ke publik bahkan ke tingkat internasional, kamu akan mengalami ini,” tandas Ita.
Tiga Faktor Penghambat
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, negara terkesan masih melindungi para pelaku.
"Negara mungkin bisa berkelit mengatakan tidak ada perintah dari negara secara langsung untuk melakukan perkosaan, pembunuhan, penjarahan terhadap kelompok Tionghoa. Tapi negara tidak bisa berkelit bahwa mereka melindungi pelakunya,” tegasnya dalam kesempatan yang sama.
Kurangnya kehendak politik, menurut Asfin, membuat kasus ini macet di Kejaksaan Agung. “Kita tahu semua (kasus) jadi sumbatan botol di situ. Tapi menurut saya langkah-langkah formal juga harus dilakukan. Bukan untuk sebuah keberhasilan, tapi untuk mengatakan bahwa benar kan negara melakukan perlindungan terhadap orang-orang (pelaku) tersebut,” tambahnya.
Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, ada 2 kendala lain untuk menuntaskan kasus perkosaan Mei 1998. Yang pertama, ujar Andy, sistem pembuktian dalam hukum Indonesia belum dapat mengakomodasi kasus ini.
"Mau lihat dari mana? Catatan bukti jejak sperma? Atau bukti kekerasannya atau yang lainnya? Sebetulnya dokumennya bisa melihat kepada sekurang-kurangnya kepada 52 kasus yang telah diverifikasi oleh TGPF,” usulnya.
Sementara kedua, masih adanya budaya penyangkalan di masyarakat. Karena itu, korban semakin enggan untuk tampil ke publik. “Perlindungan bahwa kasusnya akan betul-betul disikapi dengan serius, tidak ditertawakan dan tidak disangkal. Dan ini sangat sulit,” ujar Andy lagi.
Harapan Korban
Seiring dengan kasus yang mandek, para korban menyatakan tidak berminat meneruskan kasus ini ke meja hijau. Kata Ita, kebanyakan korban yang masih berkomunikasi dengannya hanya ingin hidup seperti biasa.
“Mereka tidak ingin bawa ke ranah hukum, tidak mau menyatakan dirinya tampil sebagai korban perkosaan Mei 1998. Dan ini saya kira hak mereka dan keinginan mereka,” tandasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun kata Ita, para korban senang bahwa semakin banyak yang menaruh perhatian pada kejahatan kemanusiaan ini. “Mereka mengatakan, 'saya senang bu, sekarang banyak sekali orang yang membicarakan tentang Mei 1998. Sekarang banyak ya bu ya’,” tutup Ita. [rt/em]