Kementerian Pertanian dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengalokasikan dana 161 milyar rupiah untuk mengganti rugi ternak, terutama sapi yang mati, akibat bencana Merapi. Selain itu, badan ini juga setuju membeli ternak di kawasan Merapi yang akan dijual oleh pemiliknya. Saat ini, proses pendataan masih berlangsung dan kebanyakan peternak lebih tertarik untuk tetap memelihara ternak mereka daripada menjualnya.
Sedikitnya 2.300 ekor sapi mati akibat letusan Merapi pada tanggal 26 Oktober dan 5 November lalu.
Profesor Ali Agus, Ketua Divisi Eksekusi Ternak Korban Merapi, mengatakan jumlah populasi ternak terutama sapi potong dan sapi perah di kawasan radius 20 kilometer dari puncak Merapi di empat kabupaten mencapai 84.691 ekor.
Dinas terkait bersama masyarakat telah berhasil mengevakuasi sapi-sapi dari kawasan bencana, yang berada dalam radius 10 kilometer dari puncak Merapi. Tercatat sebanyak 12 persen atau 9.890 ekor sapi. Sapi-sapi ini memerlukan biaya untuk pakan ternak sebesar 90 juta rupiah per hari.
Menurut Ali Agus, dari pendataan di lapangan, kebanyakan peternak lebih tertarik untuk meneruskan memelihara ternak mereka.
“Karena ternak ini merupakan bagian dari sumber pendapatan yang pokok bagi mereka, mereka ingin tetap memelihara. Kalau kondisi sudah aman nyaman, mereka nanti bisa hidup normal kembali dan memelihara ternaknya. Namun, kalau ingin menjual tetap dilayani. Mekanismenya nanti lewat rekening bank melalui kelompoknya, atau pengurus koperasi dilibatkan untuk membantu supaya anggotanya bisa akses rekening bank,” jelas Profesor Ali Agus.
Profesor Ida Cahayawati, Koordinator Divisi Evaluasi Penanganan Ternak Korban Merapi mengemukakan, kebanyakan sapi yang dievakuasi dari kawasan bencana Merapi menderita penyakit mulai dari gangguan pernafasan, luka bakar dan mastitis pada sapi perah yaitu radang akibat kurang dilakukan pemerahan susu.
“Yang paling banyak itu adalah gangguan saluran pernafasan akibat dari debu vulkanik. Tidak bisa pakai masker, otomatis dia terhirup debu-debu vulkanik. Untuk sapi perah, masalahnya adalah mastitis. Mastitis itu adalah radang pada ambing,” ungkap Profesor Ida Cahayawati.
Koperasi Sarono Mulyo yang beranggotakan 100 peternak yang tinggal di radius di bawah 10 kilometer dari puncak Merapi, memiliki sekitar 1.500 ekor sapi perah. Akibat letusan Merapi, sebanyak 1. 200 ekor sapi mati, dan tinggal sekitar 300 ekor yang kini berada di daerah pengungsian.
Daud Suroto, Ketua Koperasi Sarono Mulyo, mengatakan, upaya pendataan sapi yang mati tidak mengalami kesulitan karena koperasi melakukan pandataan rutin setiap tiga bulan sekali. Kedepan, ia akan mengumpulkan anggota koperasi agar bisa meneruskan usahanya.
“Kita mau mendata, mengumpulkan peternak, yang sapinya masih ada mau kita kumpulkan. Kemudian, bagi yang sudah siap untuk memerah lagi, supaya diperah kembali, sebisanya kita tampung, kita jual kembali,” kata Daud Suroso.
Sementara itu, kelompok peternak asal Dusun Gondang, Cangkringan Sleman, sejak 8 November lalu mengungsikan sapi-sapi mereka di kandang Kelompok Peternak Rejosari di Babarsari Sleman, termasuk empat ekor sapi perah milik Tukidi.
“Dari kelompok dari Ngudi Makmur (dusun) Gondang kemarin ada 108 ekor yang diungsikan di sini, yang dapat dievakuasi dijadikan satu di kelompok Rejosari,” kata Sukidi.
Hingga Selasa, pihak berwenang masih melakukan pembakaran bangkai-bangkai sapi di kawasan bencana Merapi.