RUU Cipta Kerja yang dikenal juga sebagai Omnibus Law tengah berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak kemunculannya, terobosan hukum yang dilakukan Jokowi ini sudah menuai banyak kritikan. Seperti Rizkiansyah Putra, dari Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM yang menilai, faktor manusia dan lingkungan kurang mendapat perhatian.
“Bagaimana sebenarnya pemerintah tidak hanya memperhatikan economic growth atau investasi, tapi juga bagaimana human cost dan ecological cost-nya seperti apa. Nah, itu juga yang membuat kami dari Dema Fisipol UGM merasa, bahwa RUU ini harus diteliti kembali,” kata Rizky.
Kritik itu adalah bagian dari pernyataan yang disampaikan Rizky dalam diskusi publik Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Kamis 12 Maret 2020 di kampus Fisipol UGM. Mewakili rekan-rekan sesama mahasiswa, Rizky menyebut sejumlah kritik utama terkait RUU tersebut. Salah satunya adalah karena proses penyusunan RUU ini yang lepas dari peran publik. Risky mempertanyakan, dalam tahap pembahasan di DPR seperti ini, bagaimana kelompok masyarakat, seperti mahasiswa dan buruh, bisa terlibat dalam pembahasannya.
“Publik harus dilibatkan pada peraturan yang berdampak pada mereka. Sampai saat ini, kami belum melihat intensi untuk partisipasi publik yang terbuka itu,” tambah Rizky.
BACA JUGA: Omnibus Law: Ditolak Pekerja, Ditunggu Sektor UsahaEko Wiyono, perwakilan serikat buruh bahkan menyebut RUU Cipta Kerja sebagai fiksi, sesuatu yang belum nyata. Buruh, kata Eko, bukan anak kecil yang senang diiming-imingi permen. Dia juga menyebut, sikap pemerintah yang tidak transparan dalam penyusunannya, justru membuat masyarakat tidak percaya.
“Saya setuju investasi, tetapi tidak setuju jika itu tidak ada implikasi positif kepada buruh,” kata Eko.
Rizky dan Eko tentu berharap kritiknya tidak menepuk angin. Duduk di meja pembicara diskusi, Arief Budimanta yang merupakan staf khusus Presiden dan Reza Yamora Siregar, staf khusus Menko Perekonomian. Dua orang ini berada di jantung pembahasan RUU yang menuai kritik besar dari masyarakat itu.
Pemerintah Buka Kran Kritik
Dalam paparannya, Arief Budimanta mencoba menjelaskan dasar pemikiran Jokowi dalam mengambil keputusan, termasuk terkait RUU Cipta Kerja ini. Indonesia, kata Arief, menghadapi ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Ketimpangan juga muncul antargolongan. Karena itulah, dirancang sebuah RUU yang secara khusus memberi ruang bagi usaha kecil, menengah, koperasi dan mikro.
Arief menyebut, dalam soal investasi, Jokowi memiliki tiga patokan utama. Pertama, investasi bukan dalam kerangka pasar dalam negeri, tetapi harus menghasilkan devisa atau berbasis ekspor. Kedua, investasi yang masuk pertama dari luar adalah untuk substitusi impor. Ketiga, kata Arief, terkait supply chain yang digerakkan oleh usaha kecil, menengah dan koperasi.
“Kenapa usaha kecil, menengah, dan koperasi selalu dilibatkan di sini? Karena 99,9 persen pelaku usaha di Indonesia ada pada golongan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Dan mereka ini menciptakan 97 persen serapan tenaga kerja,” kata Arief yang juga politisi PDI Perjuangan.
Your browser doesn’t support HTML5
Masalah besar dalam pengembangan investasi, lanjut Arief, adalah hyper regulasi dan tingginya biaya. Ada terlalu banyak aturan yang harus dipotong. Arief memaparkan, akan ada 80 UU yang terdampak oleh RUU Cipta Kerja, yang diformulasikan kemudian dalam sekitat 174 pasal. Dari ribuan pasal yang terdapat dalam 80 UU lama, dilakukan proses penyederhanaan, atau dihapus, dan bisa juga dibuatkan pasal baru.
Arief mengatakan, sejak awal Jokowi berkomitmen bahwa proses RUU ini dilakukan secara terbuka. “Sekarang persetujuan bersama itu belum terjadi. Ini belum menjadi undang-undang karena belum ada persetujuan bersama antara pemerintah dengan DPR. Nah, ini kesempatan bagi kita semua untuk memberikan pengayaan. Saudara-saudara silakan mengkritik. Dan satu lagi, ini harus kita jadikan karya besar bangsa yang bisa menjamin masa depan Indonesia yang lebih baik, lebih maju,” lanjut Arief.
Reza Yamora Siregar, staf khusus Menko Perekonomian menyebut, target pemerintahan Jokowi periode kedua ini adalah pertumbuhan ekonomi rata-rata enam persen. Angka enam persen itu, kata Reza dapat dikupas dengan cara sederhana agar dipahami sebagai target yang masuk akal.
Reza menyebut kondisi, di mana 30 persen tenaga kerja masih separuh bekerja, dan tujuh juta pengangguran. Dalam satu tahun, Indonesia melahirkan 2,2 juta tenaga kerja baru yang membutuhkan pekerjaan. Dalam setiap satu persen pertumbuhan ekonomi, lanjut Reza, tersedia sekitar 350 ribu hingga 400 ribu lapangan kerja.
“Jadi kalau kita tumbuh lima persen, kita bisa dapat sekitar dua juta. Dan itu tidak cukup, dengan demografi yang kayak begini enggak cukup. Kita butuh paling enggak 2,2 juta. Makanya enam persen itu sudah sebuah keharusan, karena di situ kita paling tidak bisa memperoleh 2,5 juta lapangan kerja baru,” kata Reza.
Dibutuhkan Kajian Mendalam
Arie Sujito dari Departemen Sosiologi, Fisipol UGM menyebut, saat ini ada dua kubu sikap terkait RUU Cipta Kerja. Keduanya memiliki landasan sikap sendiri dan secara jernih mencoba mengupas isi RUU tersebut. Tantangan pemerintah, kata Arie, adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di setiap kubu.
Namun, Arie mengingatkan bahwa undang-undang dibuat untuk menjawab tantangan masa depan. Harus dibicarakan secara terbuka, apa pengaruh bagi setiap kelompok masyarakat dengan kehadirannya.
“Kalau kita mau meminjam masa depan, maka konfigurasi masyarakat kita, masyarakat kerja itu seperti apa? Itu untuk melengkapi dua kutub yang menurut saya sangat penting untuk kita bicarakan. Siapa yang dirugikan? Siapa kelompok rentan? Dan siapa yang diuntungkan di dalam ini semua?,” kata Arie.
Pengamat politik yang mengaku ada pertarungan perspektif ini menilai, ada sesuatu yang hilang dengan kehadiran RUU Cipta Kerja. Diskusi publik harus mampu memberi jawaban, terkait kekawatiran pihak-pihak soal penyusunannya yang tidak transparan.
Senior Arie Sujito di Departemen Sosiologi UGM, Tadjuddin Noer mengingatkan kontroversi yang sering terjadi dalam penyusunan undang-undang. Ketika UU Ketenagakerjaan disahkan pada 2003, mahasiswa dan buruh juga menggelar demo menentangnya. Tadjuddin bahkan mengaku turut membantu para aktivis mahasiswa agar bisa menggelar demo itu. Kini, ketika RUU Cipta Kerja akan disahkan, muncul protes agar UU Ketenagakerjaan dipertahankan.
Secara khusus, Tadjuddin yang sudah melakukan penelitian terkait ketenagakerjaan selama 45 tahun berkarier sebagai dosen, menilai organisasi buruh di Indonesia perlu mengubah posisinya. Di Indonesia, serikat buruh terlihat perannya ketika demonstrasi saja. Padahal, serikat ini bisa berperan lebih banyak, misalnya dalam peningkatan kapasitas buruh. Tadjuddin membandingkan dengan kondisi di Malaysia.
“Di Malaysia, serikat pekerja itu mendorong perusahaan untuk meningkatkan produktivitasnya. Di Indonesia, serikat pekerja itu banyak ketuanya adalah orang-orang politik, jadi itu selalu digunakan sebagai alat politik,” ujarnya. [ns/uh]