Organisasi ODHA dan Pekerja Seks Resmi Gugat Perpres JKN

  • Rio Tuasikal

Staf BPJS Kesehatan Kediri, Jawa Timur dalam sosialisasi di sebuah ajang pameran.(Foto: Humas BPJS Kesehatan)

Organisasi advokasi ODHA dan pekerja seks menggugat Peraturan Presiden no. 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan tersebut dinilai diskriminatif karena mengecualikan dua kelompok ini dari akses layanan BPJS.

Bagi perempuan HIV positif seperti Baby Rivona, mengakses layanan BPJS mempunyai kendala lebih. Dia akan menutup rapat-rapat status kesehatannya karena takut ditolak saat berobat.

"Jadi otomatis saya tidak akan pernah berani mengatakan siapa diri saya dan apa penyakit penyerta yang saya alami saat ini ketika saya mengakses BPJS tersebut,” kisahnya.

Menurut Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) ini, banyak perempuan takut ditolak BPJS-nya jika membuka status HIV-nya. Apalagi jika Orang dengan HIV-AIDS (ODHA) tersebut adalah pengguna narkotika suntik.

Your browser doesn’t support HTML5

Organisasi ODHA dan Pekerja Seks Resmi Gugat Perpres JKN

"Ya saya rugi dong saya sudah bayar BPJS-nya terus saya nggak bisa dapat layanannya cuma gara-gara saya mengaku saya pengguna narkotika. Ya enggak dong," tambahnya.

'Banyak ODHA Berbohong'

Aditia Taslim dari organisasi advokasi ODHA Rumah Cemara mengatakan, banyak pengguna narkotika yang sengaja berbohong ketika berobat. Adit mengatakan, mereka berbohong meskipun berobat untuk penyakit lain yang sama sekali tidak berhubungan.

“Karena sekalinya kita bicara, pasti kan nantinya nggak akan di-cover (BPJS). Atau ada ketakutan ke arah sana, akan ditolak. Atau mungkin kalaupun sudah diproses, nanti tiba-tiba ada tagihan,” terang Aditia.

BACA JUGA: Dampak Pandemi Virus Corona ke ODHA Lebih Kompleks

Kebohongan ini menurutnya berbahaya karena bisa saja pengguna narkotika itu memiliki HIV namun tidak mengetahuinya. Dia menyebut, baru 40 persen ODHA di Indonesia yang sudah tahu statusnya.

“Ini akan menyulitkan sekali terutama teman-teman yang memiliki risiko tinggi terinfeksi HIV untuk dapat di-screening oleh layanan kesehatan,” pungkasnya.

Layanan BPJS memang mengecualikan layanan bagi pengguna narkotika. Perpres 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 52 ayat (1) huruf i dengan tegas mengecualikan orang dengan 'ketergantungan obat/alkohol’ dari layanan. Sementara huruf j mengecualikan orang yang 'sengaja menyakiti diri sendiri atau melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri'.

Pekerja Seks Ikut Terdampak

Peraturan ini juga memukul keras kelompok pekerja seks. Menurut Lia Andriyani dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), pekerja seks, kalaupun punya BPJS, rentan ditolak saat akan berobat.

“Ketika kami mengalami infeksi menular seksual (IMS) maka kami tidak bisa mengakses layanan kesehatan karena kami adalah pekerja seks,” ungkapnya.

Pekerja seks, kalaupun punya BPJS, rentan ditolak saat akan berobat.(Foto: ilustrasi).

Padahal, tambah Lia, pekerja seks adalah kelompok rentan yang erat dengan kemiskinan. Karenanya perlu perhatian pemerintah untuk memenuhi hak-hak kesehatan kelompok ini.

Lia menegaskan, jaminan kesehatan bagi pekerja seks akan bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya.

“Dia dapat melindungi tiga orang di belakangnya, yatu pelanggannya, pacarnya, dan isteri dari pelanggannya. Atau bahkan anak dari isteri pelanggannya yang mungkin lagi hamil,” tegasnya.

Masyarakat Sipil Resmi Gugat JKN

Melihat situasi ini, masyarakat sipil Senin (10/8) resmi menggugat Perpres 64/2020 ke Mahkamah Agung. Gugatan dilayangkan Baby Rovina sebagai pemohon individu, serta Rumah Cemara dan OPSI selaku pemohon organisasi, yang diwakili Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa pemohon.

Maidina Rahmawati dari ICJR mengatakan, poin i dan j bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Maidina Rahmawati dari ICJR berargumen, dua poin dalam Perpres 64/2020 bertentangan dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). (Sumber: Tangkapan layar)

"SJSN menyebutkan bahwa yang dikecualikan itu bentuk layanan, bukan bentuk penyakit. Nah di huruf i dan j ia justru menyasar pengecualian yang sifatnya diskriminatif terhadap kelompok-kelompok penyakit yang distigma," terangnya dalam konferensi pers usai mengajukan gugatan resmi ke MA, Senin (10/8).

Selain itu, tambah Maidina, UU SJSN juga menyediakan skema urun biaya atau patungan bagi pelayanan kesehatan tertentu. Namun, bukan berarti aksesnya dihentikan 100 persen.

"Dia justru mengecualikan sepenuhnya, bukan menghadirkan mekanisme urun biaya terhadap layanan-layanan yang erat dengan perilaku peserta jaminan kesehatan,” imbuhnya.

Dia pun menekankan, pelayanan kesehatan tidak boleh diskriminatif kepada siapapun, termasuk ODHA, pengguna narkotika, dan pekerja seks. Sebab menurutnya, hak kesehatan telah dijamin dalam UU no. 39/1999 tentang HAM serta UU no 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Itu bersifat diskriminatif karena benar-benar menyasar orang yang harusnya ditolong, yang memiliki gangguan kesehatan tertentu justru dihilangkan distop haknya," pungkasnya. [rt/ab]