Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan sejak pemerintah memberlakukan larangan ekspor bahan baku minyak goreng pada 28 April, harga buah tandan segar (TBS) yang biasa diterima petani sawit anjlok.
Ia menjelaskan, tidak ada satu pun pabrik kelapa sawit (PKS) yang mematuhi harga TBS sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 01 tahun 2018. Berdasarkan peraturan itu harga TBS seharusnya sekitar Rp3.900 per kg. Pabrik kelapa sawit biasanya mengolah TBS menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Faktanya apa? Adakah pabrik yang patuh terhadap harga TBS yang sudah disepakati tersebut? Jawabannya tidak satupun mau patuh. Semuanya membuat alibi masing-masing, ada yang mengatakan “ini kan sedang dilarang ekspor, gimana ini?” itu alasan mereka ke petani. Bahkan ada lagi PKS yang lebih keras mengatakan bahwa TBS tidak laku karena minyaknya tidak boleh dijual ke luar negeri,” ungkap Gulat kepada VOA.
Gulat menuturkan seharusnya permasalahan ini bisa diantisipasi oleh kementerian terkait dan Satgas Pangan Nasional.Ia menyayangkan sampai detik ini tidak ada tindakan tegas dari pemerintah untuk mengatasi hal ini, termasuk menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin usaha pabrik kelapa sawit.
“Hari ini harga TBS sudah mencapai harga yang paling terendah yaitu Rp1.050 per kg di pabrik. Ini kan sudah perampokan secara berjamaah oleh pabrik-pabrik kelapa sawit dan negara tidak hadir membantu petani sawit. Pemerintah yakni Menteri semuanya diam seribu Bahasa, kemana itu Menteri Pertanian? Kemana dia? Kenapa dia tidak pernah berbicara mengenai sawit?,” tambahnya.
Selain terus menekan harga TBS petani sawit, ujar Gulat, para pabrik kelapa sawit juga kerap memotong timbangan TBS sebesar 10-15 persen dengan berbagai macam alasan sehingga keuntungan yang diperoleh pabrik kelapa sawit menjadi lebih besar.
“Tidak ada yang bertindak, pemerintah dalam hal ini Kementerian terkait. Kami sudah bolak-balik minta Satgas Pangan Nasional untuk turun, cek itu pabrik-pabrik itu kan urusan Satgas Pangan karena sudah menganggu ketahanan pangan. Kalau dibeli cuma Rp1.200 per kilogram kami nggak makan. Itu tidak ada, jadi kementerian terkait sama sekali loss melakukan pengawasan,” tegasnya.
BACA JUGA: Larangan Ekspor Sawit Indonesia Sebabkan Harga Minyak Nabati MelonjakGulat berharap pemerintah bisa menegakkan Permentan No. 01 Tahun 2018 kepada para pabrik kelapa sawit dan menetapkan sanksi pidana kepada pelanggar. Selain itu, para petani sawit berharap aparat penegak hukum turun ke lapangan dan melakukan investigasi terhadap permasalahan ini.
“Kami memohon kepada semua produsen minyak goreng supaya segera melaksanakan perintah Jokowi untuk membanjiri minyak goreng khususnya minyak goreng curah di tengah masyarakat supaya bekerja sama dengan Bulog yang sudah diberikan penugasan oleh pemerintah untuk membantu distribusi minyak goreng ini supaya kisruh masalah minyak goreng cepat berlalu dan ekspor bisa kembali normal,” tuturnya.
Kredibilitas Indonesia Bisa Hancur
Pengamat ekonomi Indef Eko Listiyanto mengungkapkan di luar dampak kerugian ekonomi yang besar, menurutnya yang paling sulit untuk dihadapi Indonesia dalam jangka panjang adalah mengembalikan kepercayaan mitra dagang strategisnya.
Menurutnya, pemerintah harus berupaya keras untuk merebut kembali reputasi Indonesia yang sudah cukup tercoreng di mata dunia akibat kebijakan tersebut.
BACA JUGA: Petani Sawit Harap Pelarangan Ekspor CPO Hanya Berlaku Sepekan“Saya rasa nanti ke depan ketika kemudian dibuka lagi, itu perlu effort yang luar biasa untuk meyakinkan kembali bahwa kebijakan ini tidak sekedar hanya sesaat. Ini guncangan buat mereka, ketika terguncang pasti mereka akan berpikir ulang kalau mau kerja sama lagi dengan produsen dari Indonesia. Ibaratnya sudah kena dampak, karena ini langsung begitu ini dilarang, otomatis mengganggu ritme bisnis mereka, dan kemudian momentum ini dimanfaatkan terutama oleh Malaysia yang juga eksporter besar di CPO,” ungkap Eko kepada VOA.
Your browser doesn’t support HTML5
Lebih jauh, Eko melihat bahwa kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng ini tidak akan efektif menurunkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng ke level Rp14 ribu per kg seperti yang ditargetkan pemerintah. Meskipun saat ini sudah terlihat adanya tren penurunan harga minyak goreng curah di pasaran, ia yakin hal ini bukan disebabkan oleh kebijakan pelarangan ekspor. Namun, lebih kepada pola peristiwa yang terjadi pasca lebaran di mana semua harga bahan pangan biasanya akan kembali turun.
“Jadi kelihatannya harga sudah ada di sekitar Rp17 ribu. Memang agak turun tapi belum mencapai HET. Dugaan saya mungkin tidak akan segera mencapai HET karena harga minyak dunia sebetulnya tetap tinggi, kalau dijual dengan harga HET, kecuali petaninya di tekan banget, harganya sangat rendah ya mungkin saja tetapi itu kerugian besar di petani. Artinya kebijakan ini berdampak luas ke petani,” tuturnya.
“Padahal ada 6 juta petani di minyak sawit ini, jadi besar sekali dampaknya untuk kesejahteraan mereka. Dan harusnya pemerintah lebih care, karena ini tidak hanya untuk membela konsumen, tapi juga membela produsen kecil seperti petani sawit supaya jangan sampai pembelinya memang dibela oleh pemerintah supaya HET turun tetapi kemudian petani sangat dirugikan,” pungkasnya. [gi/ab]