Semenjak mengambil alih kekuasaan hampir enam bulan lalu, Taliban telah banyak mengubah Afghanistan, termasuk nama resminya. Sejauh ini, sebagian besar perubahan tampak sebagai langkah mundur ke dalam praktik pemerintahan yang sempat diterapkan pada era 1990-an, ketika kelompok itu didirikan.
Meski kerap diberitakan luas sebagai rezim represif yang bertentangan dengan rakyatnya sendiri dan seluruh dunia, beberapa pengamat independen mengakui adanya satu pencapaian Taliban di negeri yang dilanda perang itu.
“Pencapaian terbesar pemerintahan sementara [Taliban] yaitu menciptakan keamanan di sebagian besar wilayah Afghanistan,” kata Graeme Smith, konsultan International Crisis Group (ICG), kepada VOA.
BACA JUGA: AS Sisihkan Separuh Aset Afghanistan untuk Kompensasi Korban 9/11“Ada kesenjangan informasi yang besar, dan kami mungkin tidak memiliki semua data yang diperlukan terkait berbagai peristiwa, namun tampaknya selama enam bulan terakhir terdapat lebih sedikit aksi kekerasan dibandingkan periode yang sama selama beberapa dekade terakhir,” tambahnya.
Sebelum merebut kekuasaan, tentara Taliban terlibat dalam ribuan serangan dan bentrokan setiap tahunnya. Setidaknya 699 warga sipil tewas dan 1.345 lainnya terluka dalam berbagai serangan Taliban pada paruh pertama tahun lalu, menurut laporan PBB.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) belum menerbitkan laporan tahunan 2021 terkait korban sipil, yang akan menjabarkan seperti apa perubahan yang terjadi, dalam kaitannya dengan korban akibat konflik, setelah Taliban merebut kekuasaan negara itu.
Jumlah kekerasan yang menimpa kelompok amal dan nirlaba di Afghanistan pun tercatat menurun. Pada Januari 2021, Kantor Keamanan LSM Internasional (INSO) melaporkan 25 insiden keamanan, yang menewaskan dua pekerja non-pemerintah, melukai delapan orang dan tiga orang lainnya diculik. Pada Januari 2022, INSO melaporkan 13 insiden keamanan tanpa korban jiwa, korban luka maupun korban penculikan.
Afghanistan masih jauh dari kondisi damai. Lebih dari 500 orang Afghanistan, yang sebagian besarnya merupakan minoritas Syiah, tewas dalam berbagai serangan ISIS sejak Agustus 2021, menurut sejumlah laporan.
Dari Republik Menjadi Emirat
Tanpa menggelar referendum ataupun pemilihan umum setelah merebut kekuasaan, Taliban segera mengganti sistem republik konstitusional Afghanistan, yang diadopsi negara itu pada 2002 dan diakui di seluruh dunia, dengan sistem Emirat Islam.
Badan-badan pemilu Afghanistan telah dibubarkan, hak sipil dan politik perempuan pun dicabut, sementara bendera tiga warna negara itu diganti dengan warna putih bertuliskan kalimat syahadat dalam aksara Arab.
Emir Taliban, Hibatullah Akhundzada, memegang otoritas tertinggi, dari penunjukkan pejabat pemerintahan dan hakim, hingga menentukan apa saja hak yang patut diberikan kepada perempuan dan warga minoritas. Semenjak mengambil alih kekuasaan, Akhundzada belum pernah muncul ataupun memberi pernyataan di hadapan publik.
BACA JUGA: Bertahan atau Pergi: Sikh Afghanistan Hadapi DilemaTidak ada kejelasan dalam pertanggungjawaban pemerintahan, kata Mohammad Omar Zakhilwal, mantan menteri negara itu, yang sempat menemui para pemimpin Taliban setelah kelompok itu menguasai Kabul.
“Pemerintahan di Afghanistan saat ini tidak didasarkan pada konstitusi tertentu,” kata Zakhilwal kepada VOA. Padahal, ia menambahkan, konstitusi dibutuhkan sebagai elemen legitimasi.
Taliban juga kesulitan mendapatkan pengakuan internasional. Setelah enam bulan berkuasa, pemerintahan Emirat Islam kelompok itu belum mendapat satu pun pengakuan resmi pemerintahan negara lain.
“Kesalahan terbesar Taliban adalah kegagalannya menemukan cara bekerja sama dengan negara-negara lain,” kata Smith dari ICG.
Pemerintahan yang inklusif dan menghormati hak-hak perempuan atas pendidikan dan pekerjaan merupakan beberapa isu utama yang dituntut oleh negara-negara lain kepada Taliban, sebelum mereka mengakui pemerintahannya.
BACA JUGA: Taliban Bebaskan 2 Wartawan Asing dan Aktivis PerempuanTahun yang Kelam
Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan diikuti ambruknya perekonomian, krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang mengkhawatirkan di seantero negeri.
Sebagian besar penduduk Afghanistan mengatakan, kondisi kehidupan mereka semakin buruk hingga pada titik di mana mereka mengaku “menderita.”
“2022 akan menjadi tahun yang amat kelam bagi perempuan Afghanistan,” kata Asila Wardak, mantan diplomat Afghanistan yang kini tinggal di AS, karena ia dilarang bekerja oleh Taliban.
Menurut sejumlah laporan, kemiskinan ekstrem dan pengangguran memaksa banyak perempuan Afghanistan menjadi pengemis dan bahkan menjual organ tubuh mereka.
“Para perempuan mengemis di jalanan seluruh Afghanistan. Mengapa mereka tidak diperbolehkan bekerja kantoran?” Tanya Wardak.
BACA JUGA: Bayi-bayi Sulit Bertahan Hidup di Tengah Krisis di AfghanistanPejabat Taliban mengatakan, mulai pertengahan Maret, sekolah dan perguruan tinggi akan dibuka bagi anak-anak perempuan dan perempuan dewasa. Akan tetapi, kelompok itu belum memberikan komitmen apapun terkait pemberian hak politik perempuan dan boleh-tidaknya mereka kembali bekerja di kantor-kantor pemerintahan.
Diakui atau tidak, Emirat Islam Taliban adalah pemerintahan de facto di Afghanistan saat ini. Sementara negara itu menghadapi krisis ekonomi, kemanusiaan dan politik yang semakin parah, para pengamat mengatakan terdapat sedikit optimisme akan terjadinya perubahan besar di masa yang akan datang.
“Dalam beberapa bulan ke depan, saya memperkiarakan Taliban akan terus mempertahankan pemerintahannya sebagaimana adanya, cukup inklusif dan hanya menunjukkan sedikit fleksibilitas dalam hal ini,” kata Zakhilwal. [rd/em]