Upaya China untuk mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina kemungkinan besar akan gagal, tetapi Beijing dapat membangun kesan bahwa pengaruh Amerika Serikat (AS) di kawasan itu telah memudar.
Para pakar memprediksi gagalnya upaya untuk menghidupkan kembali perdamaian Timur Tengah, bahkan ketika Beijing menyatakan optimis dapat menghidupkan kembali pembicaraan yang telah terhenti selama hampir satu dekade itu.
Sebelumnya, China berhasil menengahi kesepakatan damai antara Arab Saudi dan Iran pada bulan Maret lalu, memulihkan hubungan diplomatik kedua negara yang terputus 2016. Sekarang Beijing sedang mencoba untuk mengulang pencapaian tersebut dengan memediasi Israel dan Palestina, di mana negosiasi sebelumnya yang ditengahi AS telah dibekukan sejak 2014.
"Saya yakin China siap memainkan peran positif dalam mempromosikan pembicaraan damai" antara Israel dan Palestina, kata Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, kepada VOA pada Rabu (19/7).
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada 27 Juni bahwa Beijing telah mengundangnya untuk kunjungan resmi pada tanggal yang tidak ditentukan bulan ini.
BACA JUGA: Di Tengah Gesekan dengan AS, Netanyahu Katakan China Telah Mengundangnya untuk Kunjungan KenegaraanMenteri Luar Negeri China Qin Gang sebelumnya menawarkan untuk menengahi pembicaraan damai melalui pembicaraan telepon ke Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen dan Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki pada April lalu.
“Beijing semakin berani dengan (keberhasilan) melunaknya hubungan Saudi-Iran, yang telah berlangsung selama berbulan-bulan,” kata Robert Manning, seorang senior fellow di lembaga Stimson Center.
"Tetapi Saudi menggunakan China untuk mengirim pesan ke, dan meningkatkan posisi tawar (leverage) dengan, AS. Jadi Beijing mencapai semacam status di kawasan itu sebagai broker netral yang kredibel. [China] harus seperti itu karena mereka mendapatkan minyak dari Saudi dan Iran," kata Manning.
“Salah satu alasan bagi upaya (perdamaian) Israel-Palestina yang sia-sia [tapi dilakukan oleh Beijing] adalah untuk membuat pernyataan kepada AS bahwa hegemoni AS di Timur Tengah telah memudar dengan cepat ,” tambah Manning.
Hubungan Saudi-AS memburuk karena pemerintahan Biden menuduh Putra Mahkota Mohammed bin Salman menyetujui pembunuhan Jamal Khashoggi pada 2018. Khashoggi adalah jurnalis pembangkang yang melarikan diri dari Arab Saudi dan terus mengkritik pemerintah sebagai kolumnis harian AS, Washington Post.
Pada Juni, Presiden China Xi Jinping menawarkan proposal kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk pembicaraan damai dengan Israel ketika dia berada di Beijing. Xi mengatakan dia mendukung solusi dua negara.
Termasuk dalam proposal tersebut adalah "pendirian negara Palestina merdeka yang menikmati kedaulatan penuh berdasarkan perbatasan tahun 1967 dan dengan Yerusalem timur sebagai ibu kotanya."
Selama Perang Enam Hari pada 1967, Israel menduduki wilayah tanah yang luas termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza, rumah bagi jutaan orang Palestina yang menganggap mereka bagian dari wilayah mereka.
Palestina telah berusaha untuk mendirikan Tepi Barat dan Gaza sebagai negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Israel menarik diri dari Gaza pada 2005, tetapi terus menduduki Tepi Barat, memperluas permukimannya ke daerah tersebut, bahkan menyebut seluruh Yerusalem sebagai ibukotanya.
Dalam solusi dua negara, ribuan pemukim Yahudi di Tepi Barat harus pergi, menyerahkan sebagian tanah kepada warga Palestina.
"Keadaan kebuntuan Israel-Palestina tidak berubah, dan China tidak akan berhasil," kata Dennis Wilder, yang menjabat sebagai direktur Dewan Keamanan Nasional untuk China dari 2004-2005 dan saat ini menjadi senior fellow pada "Prakarsa Dialog China-AS untuk Isu-isu Global" di Universitas Georgetown.
"Peluang China menjadi perantara perjanjian damai adalah antara nol sampai 5 persen. Sudah banyak upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan lainnya selama beberapa dekade untuk menemukan solusi yang dapat diterima kedua belah pihak dan semua upaya ini telah gagal," lanjut Wilder.
BACA JUGA: Kemlu RI: Serangan Israel Tidak Bisa DibiarkanPekan lalu, pasukan Israel melancarkan serangan terbesar di kamp pengungsi Palestina sejak 2002 di kota Jenin di Tepi Barat.
Jenin adalah kota yang dikelola oleh Otoritas Palestina sejak 1990-an di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Yu Jie, peneliti senior tentang China dalam Program Asia-Pasifik di lembaga Chatham House, mengatakan bahwa untuk dapat menengahi konflik Israel-Palestina, China perlu memiliki pengetahuan yang lebih dalam tentang (geopolitik) wilayah tersebut, yang mungkin tidak dimiliki oleh Beijing.
Dia melanjutkan, “China tidak memiliki banyak pakar Timur Tengah dibandingkan dengan pakar kebijakan luar negeri AS atau studi Eropa,” dan bahwa Beijing “harus tampil sebagai pemain netral.”
China telah menjaga hubungan baik dengan Palestina. Beijing adalah salah satu negara pertama yang mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan negara Palestina merdeka yang dideklarasikan sepihak, menurut Kementerian Luar Negeri China.
PLO membuka kantor diplomatik di Beijing pada 1965 diikuti oleh kedutaan pada 1974.
Menurut Benjamin Ho, asisten profesor untuk Program China di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam Singapura, "persepsi China di Timur Tengah relatif positif" setelah Beijing mengupayakan "berbagai niat baik" dengan mengirimkan vaksin COVID-19 ke wilayah tersebut.
BACA JUGA: Analis: Kekerasan Jenin Tandai Era Baru Konflik Israel-PalestinaPara ahli mengatakan minat Beijing dalam menengahi pembicaraan damai dengan saingan Timur Tengah dimotivasi oleh kebutuhannya akan impor minyak dan memperdalam hubungan ekonomi melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative), sebuah proyek infrastruktur besar-besaran yang membentang di seluruh dunia.
Wilder berkata, "Merupakan keuntungan China untuk memiliki situasi yang stabil di Timur Tengah karena hampir setengah dari pasokan minyak China berasal dari wilayah tersebut."
Wilder melanjutkan, "Prakarsa Sabuk dan Jalan China membutuhkan lingkungan yang damai. Ambisi China di Timur Tengah adalah untuk membangun hubungan ekonomi yang luas, dan telah berhasil di bidang ini."
Namun, dia menambahkan, "China tidak memiliki kemampuan untuk menggantikan Amerika Serikat sebagai penjamin keamanan di kawasan itu, dan tidak ada bukti bahwa China sedang berusaha mengambil peran itu." [pp/ft]