Seorang pakar independen yang bekerja dengan PBB untuk masalah HAM di Myanmar mendesak masyarakat internasional pada Rabu (21/6) untuk mencari pendekatan berbeda untuk menyelesaikan krisis di negara Asia Tenggara itu, dengan mengatakan bahwa pendekatan yang saat ini diambil tidak menunjukkan hasil.
Tom Andrews, pelapor khusus yang bekerja untuk Kantor Urusan HAM PBB, mengatakan pada konferensi pers di Jakarta bahwa dunia mengharapkan kepemimpinan Indonesia dan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk mengatasi situasi di Myanmar.
“Saya datang ke Indonesia karena situasi HAM di Myanmar sangat memprihatinkan dan semakin parah, dan karena saya percaya bahwa Indonesia diposisikan untuk memainkan peran penting dalam penyelesaian krisis ini,” kata Andrews setelah bertemu dengan para pejabat Indonesia dan ASEAN.
Krisis Myanmar dimulai setelah militer negara itu pada Februari 2021 merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Pengambilalihan tersebut memicu protes publik yang meluas. Penindasan kekerasan oleh pasukan keamanan memicu perlawanan bersenjata yang kini melebar ke sebagian besar wilayah negara itu.
Andrews, mantan anggota kongres AS, mengatakan situasi di Myanmar juga kehilangan visibilitas di luar negeri.
Ia mengatakan militer Myanmar telah membunuh lebih dari 3.600 warga sipil sejak krisis dimulai, sementara lebih dari 19.000 orang telah dipenjara sebagai tahanan politik.
ASEAN, di mana Myanmar menjadi salah satu anggotanya, dua tahun lalu menyepakati rencana lima poin yang mencakup seruan untuk segera menghentikan pembunuhan dan kekerasan lainnya serta memulai dialog nasional. Penguasa militer di Myanmar pada awalnya menerima rencana tersebut, tetapi hanya melakukan sedikit upaya untuk mengimplementasikannya.
BACA JUGA: Anggota Kunci ASEAN Tolak Hadiri Pertemuan ‘Islah’ Myanmar Usulan ThailandAndrews mengatakan blok regional yang beranggotakan 10 negara itu tidak boleh mengundang junta ke salah satu pertemuannya dan tidak boleh mengizinkan personel militer Myanmar untuk berpartisipasi dalam pertemuan pertahanan.
“Mau tidak mau saya mendapat kesan bahwa ada dua zona waktu yang berbeda ketika berbicara tentang ASEAN dan krisis di Myanmar: yang satu adalah realitas rakyat Myanmar yang menghadapi serangan harian oleh pasukan junta dan kondisi yang memburuk dengan cepat. Yang lainnya adalah dunia para pejabat ASEAN yang memperingatkan bahwa kemajuan bisa memakan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun,” katanya.
“Rakyat Myanmar tidak memiliki puluhan tahun. Mereka membutuhkan tanggapan internasional yang kuat terhadap krisis yang dilakukan di 'zona waktu' yang sama dengan serangan brutal yang mereka derita,” katanya.
Pelapor khusus itu bekerja untuk Kantor Urusan HAM PBB di Jenewa berdasarkan mandat yang diberikan oleh Dewan Hak Asasi Manusia yang didukung oleh PBB, sebuah badan beranggotakan 47 negara, termasuk China dan Rusia. [ab/lt]