Epidemiolog Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, menyebut gelombang ketiga di Tanah Air adalah sebuah keniscayaan. Namun ada sejumlah faktor yang sangat menentukan apakah dampaknya akan sehebat seperti gelombang kedua atau tidak. Faktor-faktor tersebut misalnya mobilitas populasi dan konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan.
“Yang akan menentukan adalah bagaimana mobilitas populasi itu terjadi. Karena itu akan mempengaruhi tingkat penularan. Kemudian juga, seberapa lama sejak dilakukan vaksinasi terakhir pada populasi. Karena itu akan menentukan imunitas yang ada di populasi. Dan juga seperti apa, varian virus yang beredar,” kata Riris dalam diskusi bertajuk Mitigasi Risiko Menghadapi Gelombang ke-3 COVID-19 yang diselenggarakan Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) pada Minggu (14/11).
Indonesia kewalahan dalam menangani terpaan gelombang kedua COVID-19 yang terjadi di antara Juni-Agustus. Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Profesor Paripurna masih ingat betul bagaimana hiruk pikuk, ketegangan dan kecemasan yang terjadi sepanjang periode tersebut. Gelombang kedua COVID-19 sedang memuncak, termasuk di Yogyakarta. Dia melihat sendiri, terjadi kelangkaan oksigen dan kekurangan tempat tidur di rumah sakit, khususnya di Yogyakarta. Kampus UGM, yang juga memiliki rumah sakit, bahkan harus membuka pusat layanan darurat.
“Miris rasanya ketika KAGAMA menanyakan ke UGM, apa yang dibutuhkan untuk membantu penanganan COVID-19 di Yogya. Saya mrebes mili (menangis-red) ketika saya tanya ke rumah sakit, yang mereka butuhkan sekarang adalah peti jenazah. Apakah ini harus terjadi lagi Desember atau setelahnya, yang disebut sebagai gelombang ketiga COVID-19,” papar Paripurna.
Gelombang kedua COVID-19 di Indonesia sudah melandai. Jumlah kasus harian kini sangat kecil, begitu pula dengan jumlah kematian. Aktivitas masyarakat pelan-pelan kembali normal.
Pada kesempatan yang sama, Riris juga menggarisbawahi bahwa setelah selesai dengan varian Delta, masih jadi pertanyaan apakah akan ada varian baru. Pola kasus juga akan mirip, di mana ada lonjakan kasus, mencapai puncak, lalu ditangani hingga melandai. Setelah kasus melandai, semua pihak akan kendor, lalu kasus naik lagi hingga puncak, kemudian kembali melandai.
Jika memang gelombang ketiga datang, lanjut Riris, beberapa hal yang mungkin berkontribusi adalah mobilitas musiman yang terjadi. Dalam waktu dekat ada liburan Natal dan tahun baru. Faktor lain juga berpengaruh seperti liburan sekolah, akhir pekan panjang (long weekend), hingga libur Lebaran dan Iduladha tahun depan. Faktor lain adalah ketika kesadaran masyarakat menerapkan protokol kesehatan menurun.
BACA JUGA: Antisipasi Gelombang 3, Pemerintah Segera Datangkan Obat Anti COVID-19Perlindungan yang diberikan vaksin, kata Riris, sejauh yang diketahui juga memilili batas waktu. Karena itu, gelombang ketiga juga didukung oleh kondisi di mana proteksi vaksin sudah mulai menghilang di populasi.
“Atau jika varian baru masuk ke Indonesia. Bisa juga kalau ada varian baru yang asli dari Indonesia sendiri,” tambahnya.
Enam Strategi
Riris merekomendasikan enam strategi untuk mengelola situasi saat ini. Pada sisi individu, kata dia, masyarakat perlu mengubah pola pikir bahwa pandemi akan segera berakhir. Merkea yang memiliki ekspektasi pandemi berakhir saat ini, akan frustasi ketika ternyata kondisi semacam ini berkepanjangan, ada lonjakan kasus, dan bahkan penerapan pembatasan aktivitas lagi.
“Kita perlu memahami bahwa kita akan hidup dengan pandemi dalam waktu yang cukup lama atau kalau mengutip kata Pak Presiden, kita harus hidup berdamai dengan COVID-19,” kata Riris.
Dia juga meminta pemerintah mengganti strategi penanganan, dari bencana menuju penanganan terprogram. Dia memberi contoh, penyakit TB atau malaria telah memiliki program pengendalian secara nasional, begitu juga COVID-19 perlu didekati dengan cara serupa. Langkah ketiga adalah membuat program pengendalian COVID-19.
Strategi keempat merencanakan kapasitas lonjakan kasus diantaranya diagnosis, shelter, tempat tidur, oksigend dan rujukan. Pemerintah juga perlu mengembangkan strategi promosi kesehatan dan komunikasi risiko yang sensitif budaya. Strategi keenam, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko individu.
Ke depan, COVID-19 akan memiliki kondisi seperti demam berdarah saat ini. Diantara penandanya adalah sekitar 70 persennya asimtomatik. Keduanya juga akan memiliki penyebaran musiman, di mana DB pada musim hujan sedang COVID-19 pada periode interaksi tinggi. Keduanya juga memiliki variasi klinis dari ringan hingga fatal. Keduanya juga ditangani dengan layanan primer untuk skrining kasus dan membuat rujukan secara tertulis.
Pemerintah Lebih Siap
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha, memastikan pemerintah melakukan penanganan pandemi cukup baik. Pekan-pekan ini, Indonesia berada dalam tingkat penularan terendah selama pandemi.
“Cakupan vaksinasi kita relatif sedang ke tinggi, nomor lima di dunia. Vaksinasi dosis 1 sudah mencapai 61,37 persen di atas 210 juta lebih. Untuk lansia 42,7 persen,” kata Kunta.
Pencapaian ini akan terus didorong untuk mencapai target vaksinasi dosis pertama bagi 70-80 persen penduduk pada akhir tahun, atau selambat-lambatnya Januari 2022. Kemampuan vaksinasi Indonesia saat ini sekitar 2,5 juta orang perhari.
Terkait kemungkinan gelombang ketiga, Kunta menyebut saat ini kasus masih didominasi varian Delta. Belum ada laporan masuk terkait varian lain di Indonesia. Muncul harapan, setelah diserang varian Delta yang dinilai punya kekuatan besar, diharapkan masyarakat sudah cukup tangguh menghadapi varian lain.
“Tetapi situasi ini tidak boleh menurunkan kewaspadaan kita. Karena pandemi belum berakhir. Harus kita ingat, suatu pandemi itu bersifat global. None of us be safe, until everyone is safe,” ujar Kunta.
Secara global, varian Delta sedang dominan, dengan 99,6 persen darj laporan kasus di dunia dalam 60 hari terakhir. Ditengarai, peningkatan kasus seperti yang terjadi di Eropa adalah karena pelonggaran interaksi dan penurunan kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
BACA JUGA: Disetujui BPOM, Kapan Anak di Bawah 12 Tahun Divaksinasi Sinovac?“Eropa sudah memiliki vaksinasi lengkap tinggi, tetapi saat ini mengalami peningkatan kasus. Artinya, penanganan pandemi tidak cukup hanya dengan vaksinasi saja, tetapi upaya penguatan kepatuhan terhadap protokol kesehatan ini sangat penting,” ujarnya.
Salah satu kunci penting menekan potensi gelombang ketiga, adalah kewaspadaan terhadap libur Natal dan Tahun Baru.
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan banyak persiapan. Pandemi selama lebih 1,5 tahun telah mengubah kesiagaan sistem kesehatan. Kunta menyebut, Indonesia telah mengembangkan sistem jejaring laboratorium terintegrasi. Di awal pandemi, hanya ada 12 laboratorium COVID-19, saat ini telah ada 1.123 laboratorium Nucleic Acid Amplification Test (NAAT). Semua dalam sistem jejaring terintegrasi sistem informasi sewaktu. Selain itu juga tersedia 25.659 fasilitas kesehatan dan 13 lab untuk whole genomic sequencing.
“Kita akan memperkuat laboratorium ini dengan menambah alat bantuan. Ada 20 alat yang akan kita sebar ke berbagai universitas, karena mereka yang lebih tahu daripada kami,” kata Kunta.
Pemerintah juga memperbaiki kesiapan dengan adanya 1.011 rumah sakit rujukan pelayanan COVID-19. Pengerahan sumber daya juga menjadi strategi, karena terbukti sangat membantu.
“Dulu, kemampuan nakes melakukan vaksin itu hanya tiga juta per tahun, yang untuk anak anak balita. Kita perkirakan untuk mencapai vaksinasi 70 persen penduduk, itu hampir 10 tahun. Tetapi dengan pengerahan sumber daya, kita bisa melakukan vaksinasi 2,5 juta per hari,” tambah Kunta.
Pengerahan tenaga kesehatan yang dimaksud Kunta, adalah keterlibatan personel TNI/Polri, bidan di BKKBN, tenaga di Poltekkes, hingga mahasiswa kedokteran tingkat akhir dan residen.
Semua pengalaman itu, memastikan Indonesia cukup siap menghadapi kemungkinan datangnya gelombang ketiga.
Komunikasi Faktor Penting
Kepala Perwakilan Organisasi PBB untuk anak-anak UNICEF wilayah Jawa, Tubagus Arie Rukmantara, menyebut komunikasi sebagai salah satu strategi penting. Dalam situasi dimana kewaspadaan masyarakat menurun, seperti saat ini, intensitas untuk mengulangi pesan menjadi penting.
“Supaya kita sama-sama mengingat, bahwa situasinya sudah berubah, tidak aman lagi, kalau nanti ada kenaikan kasus di gelombang ketiga,” kata Arie.
Salah satu yang penting untuk diingatkan, kata Arie, adalah bahwa adaptasi kebiasaan yang dilakukan saat ini, bisa jadi harus diterapkan permanen ke depan. Pola lama yang sudah diterapkan, tetap relevan dengan penekanan pada pelaksanaan yang aman.
Di sektor pendidikan misalnya, di mana anak-anak terdampak selama pandemi, gangguan terjadi cukup besar. Karena itulah, Indonesia harus memastikan memiliki metode yang inovatif pasca pandemi COVID-19.
“UNICEF sudah mencatat ada krisis pembelajaran dan learning loss sudah banyak sekali dibicarakan. Terutama karena banyak siswa yang tidak bisa belajar dari rumah. Karena itu, kita mendukung pembelajaran tatap muka yang aman,” kata Arie memberi contoh.
Pandemi hanya akan berakhir, setelah organisasi kesehatan dunia atau WHO menyatakannya dengan resmi. Arie memberi contoh apa yang terjadi pada pandemi H1N1 pada 2010, yang juga diakhiri dengan pernyataan resmi dari WHO. Karena sampai saat ini WHO belum memberikan penegasan terkait itu, lanjut Arie, kewaspadaan yang diterapkan harus tetap sama. [ns/ah]