Pakar: Tak Ada Untungnya Pertemuan Kedua Trump-Kim

Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dalam pertemuan di Singapura, 12 Juni lalu.

Presiden Amerika Donald Trump mengadakan pertemuan puncak dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pertengahan bulan Juni lalu, dan kini ini muncul kabar bahwa Trump menghendaki pertemuan kedua dengan Kim, kemungkinan di kota New York.

Trump mengatakan hal ini dalam pesan Twitternya kepada Kim setelah Korea Utara mengirim 55 kerangka jenazah yang diperkirakan tentara Amerika yang tewas dalam Perang Korea, lebih dari 60 tahun yang lalu.

Tapi apa manfaatnya bertemu lagi dengan pemimpin Korea Utara itu karena menurut kabar terakhir, Kim masih terus menjalankan program senjata nuklirnya.

Letnan-Kolonel Ralph Peters adalah penulis dan komentator politik bagi jaringan televisi FoxNews sampai ia mengundurkan diri bulan Maret lalu. Ia menuduh FoxNews sebagai “mesin propaganda” yang merugikan kepentingan pemerintah Amerika.

Ketika ditanya oleh stasiun televisi C-Span apakah perlu diadakan pertemuan puncak kedua antara Trump dan Kim Jong-un, Peters menjawab:

“Pertemuan puncak lagi hanya akan merupakan hadiah bagi Kim Jong-Un. Untuk apa memberinya hadiah kalau belum ada kemajuan dalam hal denuklirisasi di Semenanjung Korea? Perundingan seperti itu hanya akan memberi waktu bagi Kim untuk terus mengembangkan rudal balistik antar-benuanya dan membuat hulu ledak nuklir.”

Kata Letkol Peters lagi, beberapa presiden Amerika dalam 20 tahun terakhir juga telah ditipu oleh Korea Utara, bukan hanya presiden Trump.

“Ingat, orang-orang (di Korea Utara) itu sudah berkuasa sejak lama, dan mereka punya banyak pengalaman. Tapi sayangnya, dalam sistem pemerintahan kita, ada hambatan bagi presiden untuk melakukan tugasnya dengan baik.

“Yang pertama, presiden tidak dipilih karena keahliannya dalam bidang politik luar negeri, tapi karena politik dalam negerinya. Kedua, setelah terpilih, mereka kesulitan dalam menghadapi banyak persoalan luar negeri.”

Peters menyebut Presiden Bill Clinton, George Bush Junior, Barack Obama dan juga Presiden Trump tampak kewalahan dalam menjalankan politik luar negerinya.

“China melihat Korea Utara sebagai masalah yang menjengkelkan, tapi dalam jangka panjang Korea Utara bisa digunakannya sebagai alat, kalau terjadi krisis dengan Amerika. Korea Utara bisa membuat sibuk pasukan Amerika dan menyita perhatian Amerika untuk waktu lama,” tambah Peters.

Karena itu, katanya, adalah berbahaya kalau berasumsi bahwa kita adalah orang yang paling pandai dalam berunding atau berdiplomasi.

“Cara itu tidak berhasil dalam masa pemerintahan Presiden John Kennedy, dan tidak juga dalam masa pemerintahan Presiden Trump.”

Ketika ditanya apakah Russia masih akan terus campur tangan dalam pemilihan umum di Amerika, Letkol Peters yang pernah menjadi perwira intelijen itu mengatakan, ”Saya yakin badan-badan intelijen kita telah, dan sedang melakukan semua yang bisa mereka lakukan, walaupun tidak ada petunjuk langsung dari presiden. Tanpa adanya presiden yang aktif memimpin usaha itu, dan bisa mengatakan dengan tegas kepada Vladimir Putin bahwa Amerika tidak akan mentolerir campur tangan demi kemenangan satu partai atau lainnya, hal itu akan terus berlanjut.”

Kata Peters lagi, ancaman campur tangan ini lebih kompleks dan rumit karena dilakukan lewat jaringan internet dengan ongkos yang tidak terlalu mahal.

“Kalau Rusia bisa mempengaruhi satu suara saja dalam pemilihan umum kita, saya akan menganggapnya sebagai serangan terhadap Amerika,” kata Letkol Peters. [ii]