Indonesia mengatakan meningkatnya gelombang bentrokan antara Palestina dan Israel di Tepi Barat pada akhir-akhir ini menunjukkan telah terjadi defisit kepercayaan antara kedua pihak, terutama di kalangan masyarakat. Jika hal tersebut terus terjadi, dikhawatirkan kelompok Islam militan, seperti ISIS dan Al Qaeda, dapat menyusup wilayah tersebut.
"Ini menunjukkan bahwa proses perdamaian yang selalu berjalan tidak berjalan maksimal. Yang ada bukan win-win solution, tapi Palestina lebih banyak dirugikan,” Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih kepada VOA, Sabtu (28/1).
Hal tersebut, katanya, seharusnya menjadi perhatian masyarakat internasional. Mereka diharapkan akan memberikan tekanan yang lebih keras kepada Israel agar mematuhi ketentuan yang berlaku dan menghindari kekerasan.
Bagus mengatakan hal itu untuk menanggapi gelombang kekerasan di antara kedua pihak tersebut yang telah menewaskan 33 warga Palestina dan tujuh orang Israel sejak 1 Januari. Kasus kekerasan terbaru adalah penembakan yang dilakukan pemuda Palestina berusia 21 tahun asal Yerusalem, Khairi al-Qam.
Ia menembak mati tujuh warga Yahudi di luar sebuah sinagoga di permukiman Nabi Yaqub, Tepi Barat pada Jumat (27/1). Insiden tersebut terjadi sehari setelah pasukan Israel menyerbu Jenin dan membunuh sepuluh orang Palestina. Khoiri telah ditembak mati polisi Israel saat melarikan diri ke wilayah Palestina.
Menurut Bagus, dunia internasional dapat memberi tekanan yang lebih keras kepada Israel karena Tel Aviv sering kali merasa kebal hukum akibat tidak pernah mendapatkan sanksi internasional. Ia berpendapat, tekanan dunia internasional dapat dilakukan melalui banyak cara, misalnya memulai proses perundingan yang mengarahkan pada terwujudnya kemerdekaan Palestina, desakan untuk menghadirkan pasukan internasional di wilayah Palestina demi menjamin kelompok rentan, khususnya perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia, di wilayah itu.
BACA JUGA: Serangan Sinagoga di Yerusalem Tewaskan 7 Orang, Kekerasan di Tepi Barat MeningkatBagus menggarisbawahi bahwa Indonesia akan terus menyuarakan dukungan masyarakat internasional agar isu Palestina menjadi prioritas dunia untuk segera diselesaikan karena kecenderungannya terus memburuk.
Kebijakan Diskriminatif
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai situasi memanas di wilayah pendudukan Israel merupakan dampak tas kebijakan-kebijakan Israel yang cenderung diskriminatif. Kebijakan tersebut seakan-akan membuat penduduk Palestina sebagai target dan hak-haknya diabaikan.
Dalam kondisi semacam itu, lanjutnya, timbul perlawanan-perlawanan baru yang dilakukan oleh individu atau kelompok di Palestina yang melihat adanya ketidakadilan dan terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Israel. Apalagi tentara Israel yang membunuh warga Palestina tidak pernah dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
"Sehingga aksi-aksi balasan bisa aja akan semakin sporadis sebagai tindakan adanya ketidakadilan, kemudian putus asa dengan kondisi yang ada, sehingga dilakukan pembalasan terhadap warga sipil Israel," ujar Yon.
Meningkatnya bentrokan antara Palestina dan israel ini, tambahnya, bisa mendorong ke arah proses perundingan jika dianggap membahayakan proses perdamaian. Namun, jika Israel menganggap itu biasa saja, maka Tel Aviv tetap akan melakukan kebijakan-kebijakan yang represif.
Dia menilai masyarakat internasional harus menekan Israel dan Palestina untuk kembali ke meja perundingan. Masyarakat internasional juga harus bersuara tiap kali ada kebijakan Israel yang melanggar hukum internasional.
BACA JUGA: Bicara di DK PBB, Menlu RI Ajak Dunia Jadikan Tahun 2023 untuk Majukan Solusi Isu PalestinaIa mengatakan, jika gelombang bentrokan terus dibiarkan terjadi maka dapat meluas dan merugikan keamanan di Israel serta keberlangsungan nasib rayat Palestina. Untuk itu, Yon mengimbau masyarakat internasional untuk segera merealisasikan hak-hak Palestina untuk mementukan nasib mereka sendiri, tidak bergantung kepada Israel, dan bisa hidup berdampingan secara damai.
Menurutnya, jika merujuk pada visi awal pendirian Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), seharusnya peran OKI lebih optimal. Namun dia melihat beberapa negara OKI, terutama di Timur Tengah, lebih cenderung mengutamakan kepentingan nasional mereka ketimbang untuk membantu penyelesaian isu Palestina. Karena itu, revitalisasi OKI perlu dijalankan agar semangat dan soliditas 57 negara anggota OKI untuk mewujudkan negara Palestina merdeka dan berdaulat bisa dilakukan.
Dia menekankan Indonesia tidak boleh merespons perkembangan situasi di Palestina dalam bentuk pernyataan sikap solidaritas saja. Namun, perlu keseriusan dalam konteks Indonesia menunjuk utusan khusus urusan Palestina. Utusan khusus ini bertugas memantau dan mencari solusi untuk isu Palestina. [fw/ah]