Analis dan investor Amerika mengamati dengan seksama rencana ambisius untuk mentransformasi ekonomi dan masyarakat Arab Saudi, menyusul kunjungan dua minggu dari arsitek dan promotor utama skema tersebut, Wakil Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Para analis mengatakan rencana tersebut, sebuah upaya terbesar untuk mereformasi kerajaan, berpotensi memodernisasi salah satu masyarakat yang secara sosial paling konservatif di dunia sambil membebaskan negara dari ketergantungan terhadap minyak. Hal itu juga berisiko membuat kerajaan padang pasir itu tidak stabil dengan konsekuensi-konsekuensi yang belum dapat diperkirakan.
Salah satu tantangan terbesar untuk Visi 2030, nama proyek tersebut, adalah soal biaya.
"Biayanya mahal," ujar Karen Young, akademisi senior dari Arab Gulf States Institute di Washington.
"Proyek itu akan menghabiskan biaya bukannya menghemat. Agar rencana berjalan, pemerintah harus mengeluarkan banyak dana dan membentuk kemitraan publik-swasta."
Studi bulan Desember oleh McKinsey Global Institute, divisi riset di lembaga konsultansi McKinsey & Company, memperkirakan bahwa transformasi ekonomi Arab Saudi akan menghabiskan biaya sekitar US$4 triliun. (Sebagai konsultan lama pemerintah Saudi, McKinsey disebut-sebut sebagai penasihat utama Visi 2030).
Risiko lainnya adalah melonjaknya harga minyak, yang sebelumnya telah melemahkan inisiatif serupa yang lebih tidak ambisius dari negara-negara Teluk Persia penghasil minyak.
Namun risiko terbesar adalah bahwa resistensi dari sejumlah kepentingan dapat mengguncang kerajaan Saudi dan membuat masyarakat Saudi, dan pada akhirnya seluruh Timur Tengah, tidak stabil.
"Visi Mohammed bin Salman luar biasa dan ya, cukup mengganggu, sehingga penting untuk mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi kegagalan Visi 2030, tidak hanya untuk pangeran tapi juga Arab Saudi dan Timur Tengah secara lebih luas," tulis Steven Cook, ahli Timur Tengah dari Dewan Hubungan Luar Negeri di Washington, di blognya baru-baru ini.
Cook membandingkan Pangeran Mohammed, dikenal sebagai MBS, dengan "pengganggu" Arab lainnya, yaitu Gamal “Jimmy” Mubarak, putra mantan penguasa Mesir Hosni Mubarak. Proyek reformasinya pada akhirnya terbukti membuat Mesir "tidak stabil."
Tidak Sabar dengan Birokrasi
Namun para ahli lain mengatakan bahwa jika ada yang berpeluang berhasil, maka kemungkinan dia adalah wakil putra mahkota berusia 30 tahun dengan latar pendidikan Saudi. Ia seseorang yang cepat mengambil keputusan dan tidak memiliki kesabaran atas birokrasi.
Dalam waktu singkat sejak ayahnya turun tahta bulan Januari 2015, ia telah diberikan kekuasaan yang tidak pernah diberikan sebelumnya dan berhasil menggunakannya untuk mendorong agenda politik dan reformasinya.
Sebagai menteri pertahanan, ia telah membuat kebijakan regional yang dinamis dan memimpin Saudi ke dalam perang kontroversial di Yaman. Sebagai ketua Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan, ia telah memangkas anggaran pemerintah dan memotong subsidi bahan bakar, listrik dan air -- yang memicu kemarahan banyak warga.
Dan sebagai kepala dua badan yang mengawasi raksasa minyak milik negara Saudi Aramco dan dana utang negara (sovereign debt), ia mengontrol operasi-operasi besar sektor minyak dan investasi.
Reformasi tersebut "didorong oleh kepribadian wakil putra mahkota, yang telah membuat langkah tegas dan membentuk tim yang kuat," ujar David Callahan, wakil presiden Dewan Bisnis AS-Arab Saudi.
Melesatnya MBS ke puncak kekuasaan terjadi di saat anjloknya harga-harga minyak global menurunkan pertumbuhan ekonomi Saudi dan menyebabkan defisi anggaran $100 miliar tahun lalu, membalikkan satu dekade kemakmuran yang didorong oleh lonjakan harga minyak.
Dalam langkah yang tidak biasa bagi Arab Saudi, MBS mengungkapkan rincian inisiatif reformasi terbesarnya dalam sebuah wawancara April lalu dengan kantor berita keuangan Bloomberg, sebelum mengumumkannya secara formal beberapa hari kemudian. Pada 6 Juni, Arab Saudi meluncurkan Program Transformasi Nasional, mematok target-target program untuk 2020.
Di antara target-target itu adalah memangkas gaji-gaji di sektor publik dan subsidi-subsidi pemerintah, meningkatkan peran sektor swasta dalam aktivitas ekonomi, menghilangkan halangan terhadap investasi, mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta menciptakan lebih dari 450.000 lapangan pekerjaan di sektor swasta. [hd]