Papua nyaris tidak pernah berhenti dari konflik. Aksi kekerasan yang menimbulkan korban, baik itu orang asli Papua, warga pendatang maupun aparat keamanan kerap terjadi. Bagaimana persoalan ini diselesaikan?
Wakil Gubernur Papua Barat, Mohamad Lakotani tidak bisa menyembunyikan rasa prihatinnya, ketika diminta berkomentar mengenai apa yang terjadi saat ini.
“Kondisi terkini di Papua tentu membuat kita sedih, prihatin, dan biarlah ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ke depan, saya kira yang diinginkan masyarakat Papua adalah persoalan keadilan, bagaimana sumber daya yang ada di Papua itu bisa dioptimalkan, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan mereka,” katanya.
Apa yang disampaikan Lakotani adalah pernyataan yang sering disampaikan pejabat, aktivis maupun masyarakat Papua. Keadilan dan pengelolaan sumber daya alam menjadi salah satu isu yang terus muncul, di samping keamanan dan penegakan HAM.
Otsus: Berkah dan Potensi Masalah
Hari Senin (30/9), Lakotani dan sejumlah pejabat Papua hadir dalam diskusi Forum Kebijakan Strategi Papua yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Forum ini membincangkan berbagai isu terkait kebijakan yang sebaiknya diterapkan di seluruh wilayah Papua.
Di sela diskusi ini, Lakotani mengatakan, semestinya masyarakat Papua tidak hanya menjadi penonton dalam pengelolaan potensi sumber daya alam. Masyarakat Papua harus terlibat aktif, dan menerima manfaat dari eksploitasi itu. Pemerintah pusat menjawab itu antara lain dengan mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Dana triliunan setiap tahun mengalir ke Papua, dengan harapan mewujudkan keadilan dan menghadirkan kesejahteraan.
“Kita memiliki UU Otsus, tetapi masih banyak yang belum bisa kita implementasikan secara penuh karena ada UU sektoral yang menjadi penghambat dalam melaksanakan kebijakan otonomi administrasi, fiskal dan politik,” tambah Lakotani.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Erwan Agus Purwanto yang hadir dalam diskusi menilai, apa yang terjadi saat ini di Papua adalah dampak dari keterbukaan wilayah. Papua sudah memiliki UU Otsus, tetapi hal itu belum selesai. Menurutnya, harus dipikirkan pula bagaimana menggunakan kewenangan itu secara tepat.
Otsus membawa dana besar masuk Papua. Limpahan itu menarik minat lebih banyak pendatang dari berbagai daerah, sehingga menimbulkan iklim kompetisi yang semakin terbuka. Situasi seperti ini, kata Erwan, dalam jangka panjang menimbulkan ketegangan. Mereka yang datang memiliki teknologi, kapasitas, dan jaringan yang lebih baik, dibandingkan dengan penduduk asli Papua.
Your browser doesn’t support HTML5
“Saya kira ke depan keterbukaan Papua juga harus diikuti dengan upaya untuk melakukan afirmasi bagi penduduk asli Papua. Tidak hanya dalam bidang politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Sektor mana saja yang boleh untuk pendatang, mana yang untuk penduduk asli Papua. Sehingga tidak terjadi kompetisi bebas. Akhirnya kalau seperti itu, pasti penduduk asli yang sedang dalam proses belajar, dibanding saudara mereka yang lain itu, selalu tertinggal,” kata Erwan.
Erwan menitikberatkan perlunya Otsus dipusatkan manfaatnya bagi warga asli Papua.
“Papua sudah diberi kewenangan lebih besar dari daerah lain. Kewenangan itu digunakan agar penduduk asli bisa menikmati lebih banyak dibanding para pendatng. Kalau saat ini kondisinya terbalik, dengan Otsus sumber daya besar sekali, tetapi yang bisa menikmati pendatang,” tambah Erwan.
Dialog Tanpa Dampak
Selain keadilan dan kesejahteraan, Papua juga memiliki masalah terkait keamanan dan penegakan HAM. Dialog selalu dikampanyekan oleh aktivis dan pegiat HAM di Papua, sebagai alternatif utama menyelesaikan masalah ini. Banyak pertemuan sudah dilakukan, namun seolah tidak bisa mengurai persoalan di sana.
BACA JUGA: Bertemu Jokowi di Istana, Tokoh Papua Ajukan 9 PermintaanDihubungi terpisah, pengacara HAM Yohanis Mambrasar mengatakan kepada VOA mengatakan, salah satu faktor terus munculnya persoalan ini, adalah karena lawan dialog yang tidak tepat.
“Yang mereka ketemu itu orang-orang yang tidak berkonflik. Itu orang-orang dari pemerintahan, sama saja dengan DPRD yang datang ke Jakarta. Betul mereka adalah perwakilan rakyat di DPRD, tetapi mereka bukan orang yang berkonflik. Yang berkonflik adalah warga Papua, sebagian yang hari ini dikendalikan oleh kelompok-kelompok politik pemuda, misalnya KNPB, AMP, Garda atau kelompok militer yang selama ini berkonflik di hutan. Ini pihak yang berkonflik,” kata Yohanis.
Karena itulah, Yohanis tegas mengatakan, sampai saat ini belum pernah terjadi apa yang dia sebut sebagai dialog Papua-Jakarta. Sebuah dialog yang tidak hanya diikuti oleh politisi lokal, pejabat Papua atau tokoh-tokoh adat, tetapi juga memberi tempat kepada kelompok yang aktif dalam konflik.
Belum lama ini, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan sekitar 60 tokoh Papua. Tetapi Yohanis menilai, orang-orang tersebut tidak dapat dianggap mewakili masyarakat, karena justru sebagian adalah mantan tim relawan Jokowi selama Pemilu atau orang-orang yang dekat dengan militer Indonesia.
“Selagi pemerintah tidak pernah duduk dengan kelompok yang berpolitik, itu tidak akan konfik Papua diselesaikan. Otsus tahun 2001 sampai sekarang yang duitnya besar, dan ada regulasi khusus bagi orang Papua, tetapi sampai sekarang kebijakan-kebijakan itu belum mampu untuk selesaikan konflik politik Papua, karena ada kelompok lain yang belum bertemu dengan pemerintah, duduk bersama untuk selesaikan masalah,” tambah Yohanis.
Pemerintah bukannya tidak bertindak. Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menyebut, akan ada pertemuan lengkap Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, lembaga masyarakat adat, perguruan tinggi dan tokoh Papua dengan Presiden Joko Widodo. Rencananya , pertemuan akan digelar pasca pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 20 Oktober 2019.
“Pertemuan DPRD Provinsi, Kabupaten-Kota se-Papua dan Papua Barat dengan Bapak Presiden direncanakan setelah pelantikan Presiden.Jadi semua lengkap, dari gubernur, wagub, sekda, kemudian pimpinan DPRD,” kata Tjahjo Kumolo di Jakarta, 24 September 2019 lalu.
Dalam keterangan yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo saat itu tengah mendampingi perwakilan DPRD Papua, DPRD Papua Barat, dan APKASI di Bina Graha, Jakarta. Sejumlah politisi Papua dan Papua Barat, meminta dialog khusus antara pemerintah pusat dengan para tokoh di Papua. Tjahjo Kumolo pun menyanggupinya, dan meminta anggota DPRD Papua dan Papua Barat menyerap aspirasi masyarakat.
Belum diketahui, apakah masukan Yohanis Mambrasar mengenai pelibatan kelompok-kelompok yang aktif berjuang baik di politik maupun militer di Papua, akan dilakukan pemerintah. Jika tidak, pertemuan semacam itu mungkin akan menjadi rutinitas yang belum mampu menemukan ujung dari benang kusut persoalan di Papua. [ns/uh]