Polisi Myanmar, Selasa (2/3), melepaskan tembakan untuk membubarkan kerumunan pengunjuk rasa yang memprotes kudeta militer, sementara para menteri luar negeri negara-negara tetangga bersiap untuk mengadakan pembicaraan dengan junta dalam upaya untuk menemukan jalan keluar yang damai dari krisis.
Pembicaraan itu -- yang akan dilangsungkan melalui konferensi video -- dilakukan dua hari setelah kerusuhan paling berdarah menyusul kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Kudeta itu memicu kemarahan publik dan protes jalanan massal di berbagai penjuru negara itu.
Ratusan pengunjuk rasa berkumpul di belakang barikade-barikade yang dibangun di beberapa bagian kota Yangon dan meneriakkan slogan-slogan menentang kekuasaan militer. Banyak di antara mereka mengenakan topi pekerja bangunan dan menutupi tubuh mereka dengan pelindung tubuh buatan sendiri.
"Jika kami ditindas, akan ada pemberontakan. Jika kami dipukul, kami akan membalas," teriak para demonstran sebelum polisi bergerak dengan menembakkan granat kejut untuk membubarkan massa di empat bagian kota yang berbeda.
Tidak ada laporan korban luka di Yangon tetapi empat orang cedera di kota Kale, Myanmar Barat Laut, di mana polisi menembakkan peluru tajam untuk membubarkan kerumunan setelah pengunjuk rasa melemparkan berbagai benda ke arah polisi yang bergerak maju, kata seorang saksi mata.
BACA JUGA: Aung San Suu Kyi Tampil Pertama di Depan Umum Sejak Kudeta"Mereka bertindak seperti berada di zona perang," kata seorang guru dalam protes itu tentang polisi. "Saya merasa sangat marah dan sedih pada saat bersamaan."
Guru yang menolak disebutkan namanya itu mengatakan kepada Reuters, selain empat orang yang terluka oleh peluru tajam, beberapa orang terluka oleh peluru karet.
Rumah sakit dan polisi di daerah itu tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Juru bicara militer tidak menjawab panggilan telepon.
Setidaknya 21 pengunjuk rasa telah tewas sejak kerusuhan dimulai. Militer mengatakan satu polisi tewas.
Kudeta tersebut menghentikan kemajuan Myanmar menuju demokrasi setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer, dan telah mengundang kecaman dan sanksi dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, dan meningkatnya kekhawatiran di antara tetangganya.
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan bahwa rekan-rekannya di Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) akan terus terang ketika mereka bertemu melalui konferensi video pada hari Selasa dan akan memberi tahu perwakilan junta Myanmar bahwa mereka terkejut dengan kekerasan tersebut.
BACA JUGA: Para Menlu ASEAN akan Bahas Myanmar hari SelasaDalam wawancara televisi Senin (1/3) malam, Balakrishnan mengatakan ASEAN akan mendorong dialog antara Suu Kyi dan para jenderal.
"Mereka perlu bicara, dan kami perlu membantu menyatukan mereka," katanya.
Upaya ASEAN untuk menjalin kontak dengan militer Myanmar telah dikritik para pendukung demokrasi. Sebuah komite yang terdiri dari anggota parlemen Myanmar yang digulingkan menyatakan junta sebagai kelompok "teroris" dan mengatakan keterlibatan ASEAN akan memberi junta legitimasi.
Sa Sa, utusan yang ditunjuk komite itu untuk PBB, mengatakan ASEAN seharusnya tidak berurusan dengan "rezim yang dipimpin militer yang tidak sah ini."
Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengindikasikan di Twitter bahwa ASEAN akan tegas dengan Myanmar dan mengatakan kebijakan blok tersebut untuk tidak mencampuri urusan satu sama lain "bukanlah persetujuan menyeluruh atau persetujuan tersirat untuk membiarkan kekeliruan terjadi." [ab/uh]