Paus Fransiskus pada Sabtu (4/2) akan bertemu dengan para korban perang saudara di Sudan Selatan. Pertemuan berlangsung sehari setelah dia menyampaikan seruan yang berapi-api kepada para pemimpin negara itu untuk berkomitmen kembali pada perdamaian demi rakyat yang telah lama menderita.
Paus melakukan kunjungan kepausan pertama ke Sudan Selatan sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Sudan pada 2011 dan terjerumus ke dalam konflik etnis yang brutal. Konflik etnis itu memecah belah negara muda dan menimbulkan trauma.
Sekitar 380.000 orang tewas dalam perang saudara yang berlangsung selama lima tahun sebelum resmi berakhir pada 2018. Para pemimpin yang bertikai yang masih berkuasa hingga saat ini masih melakukan gencatan senjata.
Seorang pria memegang foto Paus Fransiskus saat kerumunan orang berkumpul untuk menyambutnya setibanya di Bandara Internasional Juba di Juba, Sudan Selatan. (Foto: AFP)
Namun, negara itu tetap rapuh dan penuh kekerasan. Paus mencoba menengahi perdamaian antara pihak-pihak yang bersaing. Ia mengunjungi Sudan Selatan saat negara itu mengalami satu krisis ke krisis berikutnya.
Pada Sabtu (4/2), pria Argentina berusia 86 tahun itu akan berbicara kepada sekelompok orang Sudan Selatan yang tinggal di sebuah kamp di luar Juba yang terpaksa melarikan diri dari kekerasan etnis selama tahun-tahun perang.
Mereka akan dibawa ke audiensi di ibu kota bersama Paus Fransiskus, yang menjadikan pembelaan para migran dan mereka yang terpinggirkan sebagai pilar kepausannya.
BACA JUGA: Paus Fransiskus Akhiri Lawatan ke Kongo, Beralih ke Sudan Selatan
Menurut data PBB, meskipun kesepakatan damai secara teknis mengakhiri perang, konflik masih mendorong orang-orang meninggalkan rumah mereka, dan ada sekitar 2,2 juta pengungsi internal di seluruh Sudan Selatan.
Pada Sabtu (4/2) malam, Fransiskus akan mengadakan doa bersama dengan Uskup Agung Canterbury dan Moderator Majelis Umum Gereja Skotlandia, yang bergabung dengannya di negara itu.
Dia juga akan bertemu dengan para pemimpin agama Sudan Selatan, yang bekerja dengan orang miskin dan terpinggirkan dan sangat dihormati di negara yang taat di mana 60 persen dari 12 juta penduduknya beragama Kristen. [ah/ft]